Berada di dalam kamarnya terasa asing bagitu. Begitu asingnya hingga aku harus berdiam diri sesaat di sana sebelum mulai membersihkan kamarnya yang berantakan.
Ketika Rynda memanggilku aku segera menyahuti untuk memberitahu bahwa aku ada di kamar.
Aku mendengar langkah kaki cepat. Sampai di depan pintu Rynda tertegun sejenak, dia sama terpesonanya denganku melihat kamar Dewa.
“Dia benar-benar jorok.” Kata Rynda.
Aku tertawa, “semua orang jenius sepertinya gitu Ryn.”
Dia membelalakkan matanya. “Tapi nggak sejorok dia.”
Aku memunguti kertas-kertas yang bersebaran di kamarnya. Sebagian dari kertas ini berisi rumus-rumus atau kalimat fisika, aku tidak mengerti sama sekali dengan fisika. Tepatnya aku benci fisika. Mataku tertambat pada kertas yang dilipat rapi di bawah tempat tidur, dia letakkan tepat di atas kardus sepatu yang berisi bulpoin-bulpoinnya yang sudah habis.
Aku meraih kertas itu membukanya. Nafasku tercekat hanya karena membaca judul kertas-kertas itu. Itu sebuah surat. Ada tiga surat; Untuk Anne, Untuk Abi dan I’m sorry.
“Ada apa Ra?” tanya Rynda. Dia mendekat kepadaku, melepas surat itu dari tanganku hingga aku tak sempat membacanya.
“Itu, tulisan Dewa.”
Kami berdua saling berpandangan sebelum akhirnya duduk bersama di sofa merah tempatku menghabiskan banyak waktu di apartemen ini.
***
Untuk Anne,