Berminggu-minggu aku menahan diriku untuk tidak menangis. Untuk selalu tersenyum di depan Rynda dan semua orang. Tadi malam bendunganku pecah, hancur menembus seisi tubuhku. Aku terisak di kamar kosku.
Di tengah tangisanku aku terus berucap maaf.
Aku tidak boleh menyetujui permintaan om Muh untuk kembali bertemu Dewa, merecoki hidupnya lagi dalam nama Ara. Aku tidak boleh menyuruhnya menulis sebagai pelampiasan amarah. Aku tidak boleh memaksa Dewa untuk bertemu om Muh dengan embel-embel dia masih kanka untukku.
Aku … tidak boleh egois. Seharusnya.
Akhirnya kata itu keluar, seharusnya. Kata yang sangat tidak berarti dan membuang tenaga untuk mengatakannya. Tapi memang seharusnya adalah salah satu kata yang dapat membuat kita lebih baik; menyalahkan waktu.
Butuh waktu lama untuk menyembunyikan bengkak mataku dan membangun senyum kembali. Papa memutuskan agar semua keluarga berkumpul untuk memberitahu Dewa hari ini, Dewa sudah cukup sehat dan sadar.
Sekarang, besok, lusa, semuanya sama saja. Dewa tetap harus tahu.
Kami mengitari Dewa yang duduk dengan tidak nyaman di ranjangnya. Dia memainkan selang infusnya, sesekali memindahkan tangannya yang di gips atau mencoba menggerakkan kakinya yang patah.
“Dewa, sebenarnya ….”
Ketika Ayah Rynda memulai pembicaraan Dewa memelorotkan badannya, menutupi tubuhnya dengan selimut lalu berpaling dari kami semua.
Saat itulah kami saling berpandangan satu sama lain, Rynda tidak bisa menahan tangisnya dan keluar kamar. Namun sisa orang di ruangan itu tahu, selama ini Dewa sudah tahu. Bahkan mungkin Dewa adalah orang pertama yang melihatnya.
Ini diluar dugaan semua orang.