Dosenku pernah mengatakan menurut Elisabeth Kübler-Ross paling tidak ada lima tahap seseorang dalam menghadapi suatu kehilangan: penyangkalan, amarah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan. Dewa telah melewati dua tahap, saat ini aku tidak tahu apakah dia berada dalam tahap tawar-menawar atau langsung meloncat pada tahap depresi. Aku tidak tahu.
Kurasa sekarang adalah saat yang tepat bagiku untuk mencari tahu. Dewa akan berangkat ke kampus ketika aku mencegatnya, kurentangkan tanganku sembari berkata, “kita harus bicara.”
Tanpa menatapku Dewa duduk di kursi makan, menungguku untuk duduk di depannya. Dari jauh kulihat luka di tangannya yang masih membekas. Patah tulang tangan dan kakinya sudah sembuh, tapi belum hatinya.
“Dewa, semua manusia pada akhirnya pasti mengalami kematian. Bukan hanya om Muhammad. Dan tugas kita adalah belajar menerima hal itu.” Kataku, berusaha meraih tangannya namun Dewa tetap menghindar.
“Kematian om Muhammad bukan kesalahanmu, bukan kesalahan siapa-siapa.”
Dewa menggebrak meja, lalu mata yang sejak keluar rumah sakit tidak mau menatapku kali ini dengan tajam menatapku, “kenapa kamu masuk psikologi? Karena nggak bisa masuk kedokteran?”
“Karena kamu.” Aku menjawab cepat agar tak teralihkan olehnya, “diam seperti ini nggak akan membawamu kemana-mana, semua masih tetap sama. Semarah apapun kamu pada hal itu.” Kali ini aku berhasil mendapat tangan Dewa, kugenggam tangannya tanpa mampu berontak, “penerimaan, hal paling melegakan yang bisa kamu lakukan saat ini.”
“Bahkan nona psikolog nggak mau nerima perubahan sikapku, bagaimana aku bisa percaya omonganmu?” Dewa menghempaskan tanganku, berdiri.
“Itu berbeda.” Nada tinggiku membuat langkah Dewa terhenti, “kamu jelas tahu hal itu.”
Dewa menyahut gelas di hadapanku, membantingnya dengan keras, “ini yang kamu mau lihat dari aku?” dia mengambil piring bekas sarapanku, membantingnya lagi. Lalu kesetanan Dewa mengambil barang pecah belah yang terlihat di depan matanya, “seperti ini?” katanya memecahkan semua barang di depanku.