Past Infinity

Enya Rahman
Chapter #49

48

Kemarin adalah hari yang berat, baik untukku ataupun Dewa. Setelah mengurungkan niat untuk mengetuk pintu kamar Dewa dan menyuruhnya makan aku terduduk lemas di sofa merah, tanganku masih kaku karena berusaha menghentikan Dewa untuk melakukan hal yang lebih buruk lagi. 

Sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai jendela, menyinari sebagian tanganku yang kebas. Aku mengangkat tanganku, berusaha mengambil debu-debu kecil yang beterbangan diterangi cahaya matahari. 

Kemarin, aku akan bertahan di apartemen Sean lebih lama lagi jika saat pintu lift terbuka aku melihat hal itu. 

Dewa memukuli seseorang, orang itu—lelaki itu—sudah tersudut dan berkali-kali meminta tolong dan mohon ampun. Tapi Dewa tak mendengarkannya.

Aku buru-buru menahan pintu lift, memaksa Dewa untuk berhenti memukulinya. Dengan tanganku yang pendek aku merangkul Dewa, memaksanya untuk mundur. Tapi tangannya masih berusaha menggapai lelaki itu.

Lelaki yang sedari tadi menutupi kepalanya dengan tangan berdiri, menunjuk tajam Dewa sambil mengumpat, “gila kamu! Dasar gila! Aku cuma tanya gimana kabarmu setelah Ayahmu bunuh diri!” dia mengumpati Dewa dalam bahasa Surabaya.

Dewa berhasil melepaskanku, mengejarnya yang kini telah lari terbirit-birit. Aku merangkul Dewa lagi. Jangan. Jangan. 

Lihat selengkapnya