Akhirnya!
Aku dapat melihat sudut bibirku tertarik ke atas, pipiku terdorong naik, dan sudut mataku berkerut pada pantulan jendela sebuah rumah kosong di hadapanku. Tanda apakah ini?
Penuaan dini?
Bukan! Operasi plastik yang gagal? Nooo!
Salah urat? Ya ampun, bisa lebih imajinatif lagi nggak, sih?!
Ini tuh tanda kalau aku sedang bahagia. Iya! Aku lagi seneng banget. Setelah mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra ... taruhan, kalian pasti bacanya bernada.
Pokoknya, setelah mengarungi segala tantangan kehidupan, aku bisa memiliki rumah. Meski nggak sebesar milik Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, bagiku rumahku ini adalah surgaku. Aku bisa tinggal bersama berdua dan nggak ada yang mengganggu. Kami bisa menciptakan sendiri keluarga kecil yang bahagia.
Awal nikah, kami tinggal di rumah orangtua Mas Adimas, suamiku. Kamar kami bersebelahan dengan Ares, adik iparku. Setiap hari aku melihat Ares memakai headphone. Aku curiga dia melakukannya karena nggak tahan mendengar kami yang selalu berisik setiap malam. Kami sudah mencoba untuk tenang, tetapi nggak bisa. Ada saja situasi yang membuat kami berisik, misalnya ular masuk ke kamar, kucing nyangkut di plafon, kerbau masuk parit .... Oh, maaf, aku terlalu berlebihan.
Pokoknya kami merasa terlalu berisik. Padahal Ares pasti butuh ketenangan untuk belajar. Dia masih kuliah, by the way. Selain tinggal di rumah orang tua Mas Adimas, kami juga pernah tinggal di rumah orang tuaku. Apakah tinggal bersama orang tuaku lebih baik? Tentu tidak ….
Pokoknya bagi pengantin baru, bisa tinggal terpisah dari orang tua itu impian banget bagiku.
Gimana nggak, coba? Namanya pengantin baru pasti penginnya nempel terus. Ke mana-mana maunya berdua. Apalagi ketika di kamar. Kalau nggak berdua, rasanya ada yang kurang. Saat tinggal di Pondok Orang tua Indah, bisa berduaan itu bagaikan beli snack dengan bonus uang lima puluh ribu. Bisa, tapi susah.
Pernah dulu, aku dan Mas Adimas ingin berduaan di kamar. Niatnya sih kami mau main monopoli. Lagi asyik-asyik menyiapkan pion, eh, tiba-tiba Bapak buka pintu.
“Lihat alat pancing Bapak, nggak?”
Mas Adimas segera menyimpan kembali permainan monopoli di bawah ranjang, beserta akunya, by the way. Iya! Dia mendorongku sampai terjungkal ke bawah ranjang saking paniknya. Memangnya dia pikir aku ini dadu? Seketika mood-ku untuk melanjutkan permainan hancur.
Selain itu, Bapak juga rada nggak suka pada Mas Adimas. Bukan benci, hanya nggak suka. Contohnya dulu, ketika Mas Adimas kuperkenalkan pada Bapak.
“Namanya saja terdengar rakus,” komentarnya sesaat setelah Mas Adimas pulang.
“Rakus gimana, Pak?”