Banyak yang bilang bahwa aku dan Mas Adimas merupakan pasangan serasi. Kata mereka, kami cocok satu sama lain. Ah, mereka belum tahu saja gimana kami kalau berbeda pendapat. Contohnya, ketika kami menata barang-barang untuk rumah kami yang baru.
Mas Adimas dengan percaya diri menempelkan foto besar dirinya di tengah dinding yang menghadap ke pintu. Kalau pintu rumah terbuka, orang-orang yang lewat pun dapat melihat foto itu. Aku nggak terima suamiku dipajang. Memangnya dia apaan? Sandal gunung? Aku juga takut kalau ada kelabang lewat; bisa-bisa si kelabang tergoda oleh ketampanan Mas Adimas yang di luar nurul itu, lalu kelabang itu masuk, dan terusirlah aku karena takut.
Jadi, kugeser fotonya dan kuganti dengan foto diriku. Setidaknya, kelabang mana sih yang suka sama wajahku? Nggak bakal ada! Wajahku lebih beracun ketimbang bisa kelabang mana pun.
Akan tetapi, ketika aku mengambil air sebentar, foto suamiku kembali terpasang di sana. Tak mau kalah, kuganti lagi foto itu. Dan ketika kutinggal sebentar, secara ajaib foto Mas Adimas nangkring di sana lagi. Kuganti lagi fotonya dengan fotoku. Begitu terus sampai Power Ranger berubah menjadi Power Bank.
Untuk masalah letak sofa juga begitu. Bolak-balik aku harus menggeser benda itu sesuai keinginanku. Tetapi anehnya, setiap kali aku berpaling posisi sofa berpindah. Aku sempat berpikir bahwa rumah ini ada hantunya. Dan coba tebak, siapa nama hantunya? Bagi yang berhasil menebak, kuberi mobil Marcedez, tapi jpg- nya doang. Jangan protes! Keputusan juri mutlak!
Hari-hari berlalu dengan cepat. Rumah kami yang awalnya kosong sudah mulai terisi. Barang-barang segera menempati ruangan. Pigura-pigura memenuhi dinding dan meja. Kartu-kartu memo menempel di pintu kulkas, berisi pesan-pesan cinta dan beberapa nomor penting seperti nomor telepon tukang gas, tukang galon, tukang listrik, tukang pijat plus-plus, dan ... tunggu, tunggu! Jari siapa yang menulis nomor tukang pijat plus-plus di sana?!
Saking sibuknya pindahan, aku sampai nggak sadar bahwa weekend kami sudah habis. Omong-omong soal weekend, aku dan Mas Adimas adalah pegawai pemerintah. Kami abdi negara lewat jalur panas. Karena dulu waktu ikut tes CPNS kami harus berpanas-panasan menuju lokasi.
Aku bekerja di kantor kecamatan, sedangkan Mas Adimas bekerja di kantor kelurahan. Bagaimana kami bisa bertemu? Itu gampang sekali jawabnya. Sebab, kantor kami bersebelahan. Yup! Mungkin pemerintah ingin mengirit anggaran jadi kantor camat dan lurah dibangun berdampingan. Sudah seperti manten saja. Namun, dengan begitu kerja kami jadi lebih efektif. Jika ada berkas yang memerlukan tanda tangan kedua pemimpin, tinggal jalan saja, lima menit juga beres.
Hari ini adalah hari pertamaku menyiapkan sarapan di dapurku sendiri. Aku senang karena bisa berkreasi. Sebelumnya, Ibu selalu merecokiku ketika ingin masak. Jangan pakai itu, ini saja lebih enak, katanya. Padahal yang membedakan ini dan itu hanya mereknya.
Kuambil bahan-bahan dari kulkas. Ketika aku menarik wadah berisi taoge, Mas Adimas menahan tanganku. “Jangan pakai itu, aku nggak suka, Dek.”
Padahal aku ingin membuat oseng taoge. Aku mendesah. Kuganti menuku dengan mi dan telur. Untung kemarin aku beli sawi. Jadi, kuputuskan memasak mi goreng saja.
Sembari menunggu mi empuk, aku menatap keluar. Di dapurku ada jendela yang menghadap ke halaman tetangga. Dari sana, aku dapat melihat seorang ibu yang sedang sibuk menyuapi anak balitanya. Hal itu membuatku iri. Aku ingin sekali merasakan menggendong bayi. Bayiku sendiri, lebih jelasnya.
“Kamu seksi banget kalau lagi masak, Dek,” celetuk suamiku yang rupanya belum juga meninggalkan dapur.
Aku menoleh sebentar. Sama sepertiku, dia sudah memakai seragam PNS yang berwarna cokelat. Bedanya dia memakai celana sebagai bawahan, sedangkan aku pakai rok. “Baru tahu, ya?”
Dia memelukku dari belakang, lalu meniup telingaku.
Aku geli setengah mati. “Jangan, ah, Mas! sudah jam berapa ini? Bisa-bisa nanti kita telat, nggak sempat sarapan.”
“Kalau gitu sarapannya dibungkus saja.” Dia mulai menciumi tengkukku.