Bapak, tentu Bapak tidak mengingat dia. Sahabat masa kecilku yang seperti anak-anak dusun lain, beberapa kali menginap di rumah kecil keluarga kita. Rumah dinas pinjaman ketika Ibuk menjadi kepala sekolah di SD dusun itu. Rumah yang sering ada dalam ketiadaanmu.
Bapak hanya tahu satu-dua temanku. Itu pun dengan cara yang lucu. Cara yang membuat mereka tak mengidolakanmu.
Di antara satu-dua nama itu, dia tak masuk ingatanmu.
Ayah temanku itu, pernah bercerita kepadaku, semasa muda dulu, dia bersahabat denganmu. Bertualang ke tempat-tempat jauh untuk memenuhi kehausan spiritualitasmu.
Entah, masa itu setelah atau sebelum Bapak dan Ibuk bertemu. Aku tak menanyakannya.
Temanku itu seorang marinir yang tengah melanjutkan takdirnya di Timur Tengah.
Menjadi bagian dari Garuda, pasukan perdamaian PBB.
Semalam, dia mengirimiku sebuah foto. Aku tahu dia akan melakukannya, tetapi tak menyangka akan secepat itu. Dua bulan setelah bertugas di pegunungan beku Lebanon, dia mengenakan kain ihram, menyungging senyum terbaik, dan binar mata bahagia. Binar yang tak pernah kusaksikan sebelumnya. Entah sejak kapan dia telah di Mekah, menuntaskan kerinduan Muslim sedunia, sowan ke rumah Tuhan-nya.
Tak berjeda lama dari itu, sahabatku yang lain—seorang musisi yang telah lama denganku saling berbagi—mengirimi sebuah foto yang menggetarkanku. Foto sebuah lembar doa berlatar belakang Kakbah yang jelas-jelas menyebut namaku.
Aku memanggilnya Mas Charles. Di Mekah dia mendoakanku dengan doa yang mengharukan. Doa yang tidak pernah kutitipkan sebelumnya. Di hadapan Kakbah, dia memohon semoga aku dimampukan memimpin keluargaku menuju rida Allah. Semoga aku disehatkan serta diberi hidup yang berhak. Semoga kami kelak berada dalam satu barisan umat Rasulullah yang mendapat syafaat.
Sahabat masa kecilku dan Mas Charles tidak saling mengenal. Mereka pun tak kuberi tahu bahwa pernah dalam satu hari aku mendatangi keduanya—melepas kepergian mereka berdua secara berurutan. Mas Charles dari Bekasi dan hendak berangkat ke Tanah Suci sementara sahabatku itu dari Bogor menuju penempatan tugasnya di Lebanon.
Kemudian, mereka sama-sama mengunjungi Mekah. Aku membaca ini sebagai sebuah hikmah. Pada detik itu, aku segera teringat perjalananku, setahun lalu.
Titik waktu paling menenangkan dalam hidupku. Sewaktu hari-hari begitu sempurna.
Ketika dunia fana seolah tak mengambil bagiannya.
Penyesalan terdalamku, selama 12 hari di Kota Suci, aku mengingat Bapak sedikit sekali.
Aku mendoakanmu, mengumrahkanmu, menyebut namamu, tetapi aku tidak menangis.
Sedangkan aku percaya, pada doa, tak lagi menjuntai tirai antara manusia dan Pencipta-nya, ketika air mata tumpah pada lafaznya.
Maka, mulai hari ini, Pak, aku akan menulis seluruh isi buku ini dalam perbincangan denganmu.
Aku akan bercanda denganmu, menatap bangga kepadamu, mengecup keningmu, memberikan bahuku, berbagi keikhlasan kepadamu, mencintaimu, berair mata pada doa untukmu.
Semoga setiap kata menjadi doa abadi. Menemanimu, meringankan bebanmu, menyeka keringatmu, menurunkan rida Tuhanmu, seperti harapanku, agar Allah memeluk syahadatmu.
Semua hal yang tidak pernah terkatakan, ketika kita masih ada dalam hirupan udara yang sama, berpijak pada bumi serupa.
Bapak tahu aku selalu percaya tanda-tanda. Malam tadi, ketika sahabat lama mengirimkan foto ziarahnya, aku meyakini, Allah menyapaku lagi. Memintaku memulai cerita ini. Menyuruhku menemanimu, dalam keabadianmu yang sepi.