“Jika Nabi Muhammad sudah dijamin surga, mengapa Muslim harus menyampaikan selawat dalam setiap shalat?”
Aku merekamnya, Pak.
Itu pertanyaanmu kepada guru mengaji di kampung kita dulu. Aku tidak benar-benar mendengarnya darimu. Namun entah bagaimana, kekritisanmu itu sampai juga ke telingaku. Telinga anak-anak yang memahami agama sebulat ketika dia menerima doktrinnya.
Guru mengaji itu, jika kutatap dari usiaku kini, masihlah teramat muda. Dua puluh tahunan umurnya. Sedangkan pada waktu itu, aku kelas empat atau lima SD. Aku pun tak pernah tahu bagaimana dia menjawab pertanyaanmu.
Dulu, kupikir pertanyaanmu sungguh tidak pada tempatnya. Doktrin yang kuterima, menggambarkan wajah Rasulullah pun haram hukumnya. Maka, mempertanyakan ajarannya sungguh kekurangajaran yang berganda-ganda.
Seandainya Bapak menanyaiku beberapa tahun lalu, mungkin aku akan memberikan jawaban yang menghibur hatimu. Aku tidak akan mengerut dahi hanya karena pertanyaanmu itu. Bukankah Ibrahim pun memperoleh kebulatan tauhidnya melalui pertanyaan-pertanyaan yang tak bekesudahan? Maka, aku, hari ini, memahamimu sebagai seorang pencari yang mungkin tak pernah bertemu dengan jawaban-jawaban yang engkau rindukan.
Aku ... sepertimu, Pak. Aku mempertanyakan segalanya.
Aku melakukan perjalanan pada usia amat muda. Namun, aku tidak merasa menemukan sebuah momentum tertentu yang menjawab segala tanya dengan serta-merta. Hanya peristiwa-peristiwa yang berkelebatan. Datang lalu pergi. Menasihatiku lewat hikmah dan jarang dalam bentuk keteladanan.
Jadi, aku pun tak tahu persisnya bagaimana rasa cinta itu menusuk tajam pada pikiranku, perenunganku, batinku. Pada akhirnya, aku memahaminya sebagai hadiah.
Bahwa mencintai sang Nabi seolah curah hujan yang berhamburan selepas kemarau, tetapi tetap saja tak setiap jengkal tanah bisa terjangkau.
Aku tak tahu rumusnya, Pak. Aku hanya berusaha menjawab pertanyaanku satu per satu. Aku membaca banyak buku, mendengar orang bercerita, berpindah dari satu kota ke kota lainnya.
Aku menemui beberapa orang yang begitu saja jatuh cinta kepada sang Nabi, karena semenjak kecil mereka diajari untuk itu. Aku tidak begitu.
Bahkan, di surau kampung kita dulu, yang redup lampu petromaksnya, riuh suara jangkrik di semak bambunya, kisah para nabi “sakti” lebih menarik pikiran kanak-kanakku dibanding dogma bahwa mukjizat nabi kita adalah sebuah buku bernama Al-Quran.
Bagaimanakah sebuah buku bisa lebih bernilai dibanding tongkat Nabi Musa, kemampuan supranatural Nabi Isa, dan keistimewaan nabi-nabi lainnya? Tentu saja aku tidak pernah menanyakannya. Takut dosa, meski di pikiranku mengapung banyak tanda tanya.
Bagaimanakah caranya, mencintai seseorang yang wajahnya tak kita kenal, hidup seribu empat ratus tahun berselang, dan mukjizatnya biasa-biasa saja?
Tidak, Pak. Aku tidak mencintai nabi kita dengan serta-merta. Masa pertumbuhanku bahkan hampir-hampir tidak mengenalnya dengan benar selain sebatas beberapa hafalan. Sebatas nama ibu, ayah, kakek, paman, yang memang aku butuhkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sewaktu ujian.