Edgar tengah mengamati dengan teliti baris demi baris tulisan dalam sebuah koran yang menunjukkan wajah para koruptor. Mereka baru saja diumumkan kepada publik jika terlibat dalam kasus penggelapan dana di daerah.
Ia tersenyum sinis melihatnya. Jika ada hal yang begitu Edgar benci, koruptor pasti salah satunya. Mereka tidak lebih dari manusia rendahan yang hanya memikirkan kepentingan pribadi, tanpa mau memikirkan dampaknya untuk Negara.
Bisa-bisanya para sosiopat itu tersenyum manis di depan kamera, seakan bangga dengan apa yang mereka perbuat.
“Fokus banget kamu, Gar.” Nana menyodorkan proposal kegiatan yang harus Edgar tandatangani. “Itu, soal kasus penggelapan dana bantuan Bencana Alam pertengahan tahun ini, kan?” tanyanya.
Setelah menghadiri acara di seminar yang diadakan oleh fakultas seni rupa, Edgar dan Nana, sekretarisnya di BEM, langsung menghadiri rapat di Fakultas Seni. Rencananya Himpunan Mahasiswa kesenian akan mengadakan pameran seni akhir bulan nanti. Dan acara tersebut membutuhkan persetujuan Edgar agar bisa dilaksanakan, membuatnya tertahan cukup lama di tempat ini.
“Hmmm. Korupsi emang nggak ada habisnya, kan? Setiap minggu, ada aja kasus baru yang muncul. Aku kadang nggak ngerti, gimana cara kerja para penegak hukum,” katanya.
Edgar mengalihkan perhatiannya pada proposal yang diberikan Nana, lalu membacanya berulang kali sebelum membubuhkan tanda tangan.
“Kejahatan kan, pasti ada di mana-mana, Gar.”
“Iya, tapi bukan berarti harus didiemin, Na. Kita kan bisa belajar dari negara-negara seperti New Zealand, Belanda, atau kalau di wilayah asia ada Singapura. Kamu tahu, kenapa tingkat praktik korupsi di negara-negara itu rendah? Itu karena Hukum-nya tepat dan kuat. Orang bakal mikir dua kali kalau mau korupsi, jerat hukumnya nggak main-main soalnya.”
Nana menumpukan lengannya di atas meja, mengamati Edgar sambil tersenyum. “Nggak nyesel aku pilih kamu jadi Presiden Bem. Nggak ada yang pantes selain kamu.”
Edgar mengerutkan dahinya bingung, tapi setelahnya tersenyum tipis. “Posisi seorang Presiden BEM itu bukan masalah pantes atau nggak pantes, Na, tapi kepercayaan. Ada banyak yang lebih pantes di luar sana. Kebetulan, aku aja yang dipercaya.”
Nana menggelengkan kepalanya. “Kamu emang pantes dan terpercaya,” kukuhnya sambil tersenyum.
Edgar terkekeh kecil, lalu bangkit. “Ayo balik ke Sekretariat. Udah selesai, kan, semuanya?”
Nana merapikan berkas-berkasnya sambil berkata, “Aku kasih proposal ini ke anak-anak dulu...”
Beberapa saat kemudian, mereka sudah berjalan menyusuri Lab kesenian yang membawanya ke Hall tengah Fakultas. Dari ujung tangga, terdengar suara teriakan yang begitu nyaring, membuat Edgar mempercepat gerak kakinya sambil bertanya-tanya.
Langkahnya terhenti di tengah tangga, menatap dua orang yang tengah menjadi pusat perhatian para mahasiswa lain.
“Lo pikir, lo doang yang bisa seenaknya jalan sama Amanda? Asal lo tahu, seminggu ini gue jalan sama cowok yang jauh lebih baik dari lo! So, berhenti merasa seakan-akan lo adalah orang penting di hidup gue!”
Edgar mendengar gadis itu berteriak dengan kesal sambil menunjuk-nunjuk pria di hadapannya.
“Kamu mungkin bisa bohongin siapa pun, tapi bukan aku.”
“Gue ngomong yang sebenernya, kok!” Gadis itu membalas dengan bersungut-sungut.
“Kalau gitu sebut, siapa cowok itu?”