Kantin Fakultas Teknik tampak sepi saat Edgar mencatat poin demi poin pekerjaan apa saja yang harus ia lakukan sampai akhir minggu ini. Dari mulai tugasnya membuat jurnal, sampai dengan menghadiri acara-cara yang diselenggarakan oleh Organisasi Internal, ataupun Eksternal kampus.
Di akhir masa kepengurusan seperti ini, kegiatannya cenderung jadi lebih banyak, membuatnya sedikit kewalahan. Namun, semuanya berhasil Edgar antisipasi dengan pencatatan yang detail.
“Apa bener, kalau kamu jadian sama anak Fakultas Seni itu?”
Edgar mengangkat kepalanya, melihat Nana yang tengah menatapnya dengan wajah khawatir.
“Anak Seni yang mana?” tanyanya acuh.
Nana mengambil alih tempat duduk di hadapan Edgar. “Cewek yang kemarin ngaku-ngaku ke semua orang, kalau dia punya hubungan sama kamu.”
Ah, perempuan itu. Edgar tersenyum sendiri membayangkannya. Sekali lihat, Edgar bisa menilai seperti apa perempuan itu. Anak orang kaya yang sedang berusaha menjaga harga dirinya di hadapan orang lain. Tipe perempuan yang paling Edgar benci.
“Gar..” Nana menyentaknya kembali ke kesadaran.
Edgar mengangkat wajah, menatap Nana lekat-lekat. “Kalau aku beneran pacaran sama dia, emang kenapa?”
Nana tersentak kaget. “Ja-Jadi itu bukan gosip? Kamu beneran pacaran sama perempuan itu?”
“Kamu belum jawab pertanyaan aku, kalau cewek itu beneran pacar aku, terus kenapa?”
Nana berdeham, menormalkan suaranya. “Ya...Ya, selamat, gitu aja,” ujarnya singkat.
Edgar mengangguk. “Nggak ada yang harus dipermasalahkan kalau gitu.”
Nana memberengut, jelas tidak cukup puas mendengar jawaban Edgar. “Aku cuma nggak mau, kamu jadi nggak profesional sama tugas-tugas kamu.”
Edgar mengerutkan dahi. “Na, kamu yang paling tahu, gimana aku kalau udah dibebankan tanggung jawab. Kamu nggak perlu khawatir soal itu. Lagian, nggak ada hubungannya antara hati sama profesionalitas kerja.”
Nana terpaku sesaat sebelum mencoba untu meralat ucapannya. “Maksud aku nggak gitu.”
“Nggak usah omongin ini lagi bisa, kan?” tanya Edgar tegas, membuat Nana langsung bungkam.
“Widihh, yang baru jadian. Bisa kali, pajaknya.” Itu suara Dika, teman sekaligus wakilnya di BEMyang berteriak keras dari pintu kantin.
Edgar melirik Nana sekilas. “Na, aku duluan, ya.” Tanpa menunggu balasan Nana, Edgar bangkit dan menyusul Dika.
“Berdua aja sama Nana?”
Edgar memilih tidak menjawab pertanyaan Dika dan beralih pada topik lain. “Sabtu besok kita ke puncak buat hadirin Diklat BEM Fakultas Seni, lo bisa?”
“Siap Pres! Mana bisa gue nolak perintah lo.”
“Bagus, lah. Gue juga nggak niat cari wakil baru kalau lo dipecat.”
Dika melirik Edgar ngeri. “Ngancemnya nggak lucu banget, Jirrr! Sial amat nasib gue punya ketua macem, lo.” rutuknya. “Eh, gue pikir si Emily itu lucu juga.”
“Emily siapa?” tanya Edgar.