“Kayaknya, scarf-nya[1] mending dijadiin headband[2], deh. Iya nggak sih, Sev? Mainstream banget kalau ditaruh di leher.” Emily masih fokus menempelkan sketsa warna dan pakaian pada Mood board[3]-nya untuk memberikan gambaran pada Design pakaian yang akan ia buat.
Sebagai seorang mahasiswa jurusan Fashion Design, Emily memang harus selalu Up to Date mengenai trend fashion yang sedang berkembang di Indonesia dan dunia. Seperti sekarang misalnya, ia harus berpikir keras mengenai aksesoris yang sedang tenar di pasaran.
“Nggak mau lo kasih, hat cap[4] aja?” Seva memberikan gambar sebuah topi berwarna Maron yang sedang banyak dikoleksi oleh para model dunia.
Emily mengerutkan alisnya, mempertimbangkan. “Kayaknya nggak bakal cocok deh sama temanya, gue pengin bikin konsep fashion cewek yang sweet, tapi masih ada kesan bad-nya gitu.”
Seva mengangguk. “Karakter lo banget sih emang,” ujarnya asal.
Emily melirik Seva kesal. “Jadi menurut lo gue bad girl?”
“Kalau inget gimana lo marah-marah sama si Amanda kaya kemarin sih, keliatannya gitu. Gue tahu banget, lo kemarin udah pengin nyakar si Amanda, kan?”
“Kalau lagi nggak di kantin, pasti udah abis itu cewek!”
Seva mendekatkan kursinya ke samping Emily. “Tapi Em, si Dimas beneran lo putusin?”
“Ya iya lah!” bentaknya.
“Ya, santai dong!” sungut Seva.
“Lagian nih, ya. Meskipun gue sayang banget sama si Brengsek itu, gue lebih sayang sama diri gue sendiri. Nggak bisa banget deh gue, balikan sama tukang selingkuh. Lo tahu, cowok itu kalau punya cewek satu cukup, tapi kalau dua kurang.” Emily menerangkan.
“Artinya?”
“Kalau cowok udah selingkuh sekali, pasti bakal selingkuh lagi seterusnya! Mereka nggak akan pernah puas kalau cuma sama satu cewek.”
“Gue, kan, dulu udah sering ingetin lo, buat putusin Dimas.”
“Kalau dipikir-pikir lagi, emang gue yang bodoh karena mau sama cowok kaya dia. Ada kalanya, omongan orang-orang kalau cinta itu buta, emang tepat. Sama kaya gue ke si Dimas. Saking sukanya, gue jadi buta sama keburukan yang dia punya.”
“Yaudah lah, Em, yang penting sekarang lo buka mata lo lebar-lebar, banyak cowok yang lebih baik dari pada si Dimas.”
Emily tertawa sambil menulis note di bawah gambar yang ia tempelkan. “Ya iya, lah. Dimas mah nggak ada apa-apanya sama Edgar!”
“Apaan deh lo, tiba-tiba nyambung ke Edgar. Orang kita lagi ngomongin Dimas!” Seva menyikut Emily keras.
“Ahhhh! Tulisan gue berantakan nih!” rutuk Emily sambil menunjuk kertasnya.
“Sorry deh Sorry, lagian tiba-tiba ngalihin topik ke Edgar!”
“Emang salah ngomongin cowok gue sendiri?”
“Apa lo bilang?” Seva yakin ia salah dengar.
Emily memberikan Seva senyumnya yang paling manis. “Kenalin, gue calon ceweknya Edgar.”
Hanya beberapa detik berlalu sebelum tawa Seva menggema ke seluruh ruangan. “Aduh Em, Em, cukup deh lo ngekhayalnya. Nggak puas kemarin udah ngaku-ngaku jadi ceweknya Edgar?”
Emily memukul punggung Seva keras-keras, membuat Seva mengumpat.
“Nggak bisa banget diajak serius?” Emily meletakkan kembali Mood Board-Nya pada dinding lab desain
“Halu lo udah kelewat batas, Em. Lo pikir Edgar suka, lo ngaku-ngaku jadi calon ceweknya?”
Emily mengangkat bahunya, tampak tidak terlalu peduli. “Yaudah, sih, mungkin emang dia nggak suka, tapi siapa yang peduli? Lagian gue males kalau harus ngeladenin si Dimas terus. Anggap aja ini cara gue buat ngehindarin Dimas.”
“Gila lo! keluar dari lubang buaya, masuk kandang singa.”