"Duluan ya, Dan!"
"Dan, gue duluan ya!"
"Dah!"
"Iya, tiati!" Ardan melambaikan salah satu tangannya ke arah teman-temannya yang sudah keluar ruangan secara gantian.
Ardan melepas headband-nya dan diletakkan di dalam loker lagi. Setelah itu, jersey kebanggaan milik Basketball Strey pun dilepas dan diganti dengan kaos hitam polos yang dibawanya tadi. Ia bersiap-siap untuk pulang ke rumahnya, setelah mengunci loker miliknya.
Tiba-tiba suara intro lagu yang dikenalinya berbunyi. Ardan pun menoleh kanan dan kirinya, mencari sumber suara tersebut. Pandangannya pun terhenti pada loker nomer 08 milik Adrian.
Ardan melirik pintu masuk ruangan yang tak ada siapapun di ruangan ini, selain dirinya. Karena teman-temannya yang lain sudah pulang terlebih dahulu setengah jam yang lalu. Tersisa Ardan dan Adrian yang masih di sini. Hanya saja Adrian belum kembali ke ruang ganti setelah dipanggil oleh Geta tadi.
Ardan kembali memastikan pintu masuk ruangan yang masih belum menampakkan Adrian yang muncul. Tangannya pun bergerak untuk mencoba membuka loker milik Adrian yang ternyata tak terkunci.
Dia merasa ragu untuk mengangkat panggilan masuk tersebut. Rasanya takut sekali, ia terlalu lancang dan melanggar privasi Adrian. Tapi, bunyi panggilan masuk yang tak berhenti sejak tadi benar-benar mengganggunya.
Ardan pun tak mempedulikan resikonya nanti, karena mungkin ia akan menjelaskan kejadian ini ke Adrian nanti. Saat ini pun ponsel yang dicarinya sudah berada di genggaman. Benda persegi panjang itu menampilkan nama "Kianaš„" di layar. Meskipun sudah berada di genggamannya, Ardan masih ragu untuk mengangkat panggilan tersebut. Hingga panggilan terhenti. Menampilkan notifikasi panggilan tak terjawab dari "Kianaš„".
Ragu adalah perasaan yang dirasakan Ardan sekarang. Sampai layar ponsel milik Adrian kembali menyala dan menampilkan nama yang sama seperti panggilan sebelumnya, yaitu Kiana.
Ardan menarik napas panjang dan menggeser layar ponsel tersebut supaya terhubung dengan seseorang yang bernama Kiana.
"Hallo, Adrian?"
Ardan terdiam beberapa saat. Ia mengamati suara seorang gadis yang terlihat buru-buru seperti dikejar sesuatu.
"Sumpah, Adrian. Lo kenapa diem aja? Gue panik banget ini. Tolong banget jemput gue. Gue kekunci di perpustakaan sekolah. Sumpah, gue panik. Mana baterai gue mau habis. Ini sepi parah. Gue takut, Adrian."
"...."
Ardan masih ragu untuk bersuara. Tapi, yang jelas ia tahu, bahwa gadis bernama Kiana terdengar panik dan ketakutan. Matanya pun kembali melirik pintu masuk ruang ganti, menunggu keberadaan Adrian yang mungkin muncul tiba-tiba.
"Adrian, help. Gue beneran takut. Lo kenapa diem aja?"
"Jangan mati dulu. Jangan. Please. Jemput gue, Adrian."
Herannya Ardan jadi ikutan panik karena suara gadis itu yang semakin membuat jantungnya berdebar. Hatinya tak tega mengetahui ada seorang gadis yang membutuhkan pertolongannya. Meskipun, ia tak mengenalnya, tapi dirinya tak bisa diam saja seperti ini.
"Ad-"
Panggilan terputus.
Ardan mengamati layar ponsel milik Adrian lagi. Pikirannya benar-benar tak tega membayangkan seorang gadis sendirian di perpustakaan sekolah, yang memang pastinya sepi.
Butuh waktu beberapa saat, Ardan berpikir untuk tindakan apa yang diambilnya. Sesekali ia melirik pintu masuk ruang ganti lagi, menunggu kemungkinan Adrian akan datang. Tapi, sayangnya hanya ada dirinya saat ini yang tahu keadaan Kiana.
Ardan pun meletakkan kembali ponsel milik Adrian di loker dan mengambil tasnya secara gesit. Ia keluar dari ruangan dengan berlari secepat mungkin untuk menuju parkiran. Jam tangan yang ada di pergelangan tangannya pun memperlihatkan bahwa waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Buru-buru Ardan menaiki motornya dan meninggalkan tempat latihannya dengan kecepatan di atas rata-rata.
*
Ardan menghentikan motornya tepat di pintu gerbang SMA Bangsa. Helm full-face miliknya disampirkan di setang motor. Ia mendekat ke pintu gerbang seraya mencari satpam yang mungkin ada di pos. Kepalanya menoleh ke arah sana sini mencari keberadaan orang lain selain satpam yang mungkin berjaga. Tapi, orang yang dicarinya pun tak ada.
Dia berjalan ke samping sekolahan, berusaha mencari celah untuk dirinya bisa masuk ke dalam. Karena sebenarnya ini pertama kalinya, Ardan mendatangi SMA Bangsa. Biasanya, ia hanya melewatinya karena kebetulan tempat nongkrong dengan teman-temannya dekat dari sini. Semoga saja tebakannya benar, bahwa Kiana satu sekolah dengan Adrian.
Ardan melihat batu besar yang berada di samping dinding SMA Bangsa. Ia pun mengambil ancang-ancang untuk meloncat dengan menggunakan batu besar tersebut sebagai perantara agar dirinya bisa masuk ke dalam sekolah.
Rencananya pun berhasil. Ardan berhasil masuk ke dalam SMA Bangsa. Sekolah elite yang merupakan saingan SMA Kartini di bidang akademik. Karena prestasi yang dicapai oleh murid-muridnya selalu imbang dan mendapat predikat terbaik.
Karena ini pertama kalinya Ardan masuk ke dalam SMA Bangsa, ia pun berjalan dengan cepat mencari setiap lorong di mana perpustakaan berada. Sampai ia menemukan ruangan yang terlihat cukup luas dan paling menonjol di antara ruangan lainnya. Ruangan yang terletak di paling ujung sekolahan. Dekorasinya yang sengaja dibuat lebih berwarna dan tatanan ruangan yang terlihat berbeda di antara ruangan lainnya.
Ardan mendekatkan wajahnya ke jendela, untuk mencari seorang gadis yang terjebak di dalam. Lampu perpustakaan yang masih menyala pun membuat dirinya semakin penasaran di mana gadis itu berada.
"Hallo, di dalam ada orang?" serunya pada pintu masuk perpustakaan yang terkunci.
Ardan pun berusaha mengetuk-ngetuk pintu perpustakaan dengan keras. Sampai dirinya mendengar suara langkahan kaki yang mendekat ke arah pintu.
"Ada! Di dalam ada orang!"
"Oke. Tunggu!"
Ardan mencari alat bantuan untuk membuka pintu tersebut. Matanya meneliti setiap benda yang berada di sekitarnya. Sampai pandangannya terhenti pada jepit yang sudah kusam dan terbuang di dekat tempat sampah. Ia mengambil benda tersebut dan berusaha diatur supaya bisa masuk ke dalam lubang kunci.
"Parah, gue mana tahu ginian, gila."
Ardan memutar-mutar jepit rambut dengan cepat. Rasanya gemas sekali, pintu perpustakaan ini masih belum terbuka karena ketidaktahuannya tentang teknik membuka pintu menggunakan jepit rambut.
"Astaghfirullah."
Jepit yang berada di genggamannya patah. Ardan meringis. Rencana baiknya untuk membantu orang, justru membuatnya menahan emosinya karena butuh kesabaran untuk mencari solusi yang tepat.
Ardan tak kehabisan akal, ia membongkar tas sekolahnya dan mencari benda yang mungkin bisa digunakan. Saat menemukan benda kecil yang tersangkut di bagian resleting depan tasnya, ia tersenyum. Sebuah penjepit kertas.
Ardan berusaha memanfaatkan ujung penjepit kertas untuk dimasukkan ke dalam lubang kecil yang terletak di bagian depan kenop pintu. Yang mana di dalam lubang tersebut terdapat tombol kecil yang perlu ditekan supaya pintu dapat terbuka.
Dan... pintu terbuka.
Ardan bernapas lega.
Saat itu juga seorang gadis keluar dari belakang pintu dengan raut wajah lemas.
"Adrian, sumpah. Gue ta-"
Kiana menghentikan ucapannya. Matanya terbelalak sempurna begitu melihat seorang Ardan Reigha berada di hadapannya saat ini. Pikirannya pun langsung kembali ke beberapa saat yang lalu..
Ardan yang bantu gue?