Patahan Teka-Teki

Tatsnia Kivian
Chapter #5

Bagian 5

Menolak ajakan Adrian memang tak pernah berhasil. Ada saja kelakuan yang buat Kiana mengalah dan menurut untuk latihan basket. Entah ada berapa cara yang digunakan Adrian untuk membujuknya dan selalu berhasil.

Di sinilah Kiana berada. Tempat latihan Adrian bersama komunitasnya yaitu Basketball Strey. Awalnya Kiana sudah menolak mentah-mentah untuk latihan di tempat komunitasnya, karena tempatnya yang terlalu jauh dari rumahnya. Padahal, di dekat rumahnya ada juga lapangan basket yang jarang digunakan. Sedangkan di tempatnya saat ini? Bisa-bisa teman-teman Adrian juga datang ke sini dan dirinya merasa canggung untuk bersama mereka.

Tapi, Adrian menggeleng dengan tegas. Karena lapangan tempat pemain Basketball Strey latihan terlihat sepi di hari sabtu seperti ini. Ya, otomatis Kiana menurut-nurut saja.

"Cobain lay up shoot pernah nggak, Ki?" Adrian melakukan dribble sambil menunggu jawaban Kiana. Tangannya terlihat lincah memantulkan bola berwarna oranye itu ke depan dan ke belakang dengan gerakan cepat.

"Gimana tuh?"

Adrian terkekeh dan memegang bola oranye tersebut dengan kedua tangannya. Mata Adrian mengarah pada bola oranye lainnya yang terletak di samping Kiana. Ia memberi kode untuk Kiana supaya mengambil bola tersebut.

Mereka pun berdiri pada garis setengah lingkaran yang berwarna putih di depan ring basket. Adrian pun mulai me-dribble bola basketnya dengan perlahan yang dimulai dari garis tembakan bebas. Ketika ia mulai bergerak mendekati ring, kecepatannya pun bertambah dan melakukan gerakan lay up yang dimaksudnya tadi. Bola oranye itu pun masuk melewati ring basket dengan cepat.

Kiana langsung bertepuk tangan dan tersenyum lebar melihat Adrian berhasil memasukkan bola ke dalam ring.

"Gue tahu, pasti ini biasa menurut lo.. Tapi jujur, lo keren."

Kiana tak menutupi ekspresi kagumnya di hadapan Adrian. Dia masih menunjukkan ekspresi senangnya seraya bertepuk tangan.

"Seorang Adrian kapan sih nggak keren?" balas Adrian dengan gaya sok kerennya.

"Najis."

Ekspresi Kiana yang semula terlihat senang pun langsung memasang wajah kesal dan seakan mual saat melihat wajah Adrian yang menyebalkan. Kedua tangannya yang masih memegang bola oranye pun dipantulkan ke atas tanah. Tangan kanannya mulai melakukan dribble sebisanya, sampai tangan kirinya pun ikut memantulkan bola ke tanah dengan santai.

"Kiana, nggak gitu cara mainnya." Adrian berjalan mendekati Kiana dengan tertawa.

"Bentar. Gue mau cobain dulu."

"Coba Lay up shoot bisa nggak?"

Sambil melakukan dribble, Kiana melirik Adrian sekilas dengan mencibir. "Menurut lo aja ya. Lo ngajarin cepet gitu? Gue masih amatir, Adrian."

"Ya udah, sini gue ajarin pelan-pelan," kata Adrian seraya mendekati Kiana untuk merebut bola tersebut.

"Ih, bentaran."

Salah satu tangan Kiana terangkat untuk mencegah Adrian mendekatinya. Bukannya menurut, Adrian justru ingin merebut bola tersebut dengan jahil. Tak kehabisan akal, Kiana memantulkan bola oranye di hadapannya dengan memutar tubuhnya. Ia menghalangi Adrian yang berada di belakangnya dengan salah satu tangannya. Sampai akhirnya, bola oranye tersebut jatuh mengenai sepatunya dan menggelinding ke luar lapangan.

Kiana berbalik badan dan menatap Adrian kesal. "Ngeselin banget ya," katanya dengan memanyunkan bibirnya.

Adrian maju beberapa langkah dengan tersenyum. Tangannya bergerak menyentuh puncak kepala Kiana dengan lembut dan mengusapnya secara perlahan.

"Lo lucu, Kiana. Gue jadi gemes," katanya dengan senyum manisnya.

Kiana terdiam beberapa saat seraya menatap manik mata Adrian yang berwarna hitam gelap. Untuk sepersekian detik, ia sempat terpesona dengan ketampanan Adrian yang bertambah saat tersenyum seperti ini. Senyumnya terlihat tulus.

Tiba-tiba mata Adrian melirik ke ujung lapangan, di mana ada sosok laki-laki yang menggunakan kaos putih polos dan celana pendek berwarna gelap. Tangannya yang semula berada di puncak kepala Kiana pun diturunkan menjadi sejajar dengan tubuhnya. Ia tersenyum menatap temannya yang tengah memegang bola yang dimainkan Kiana tadi.

"Mau main, Dan?"

Saat itu juga Kiana merasakan jantungnya berdegup kencang. Otaknya seakan ingin kembali mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Di mana Ardan yang membantunya keluar dari perpustakan, keluar dari sekolah lewat tembok tinggi di samping sekolah, dan mengantarnya pulang dengan selamat. Kejadian yang membuat Kiana tak bisa tidur, setelah sampai rumah.

Terdengar langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Matanya terpejam beberapa saat untuk menahan rasa gugupnya. Tangannya dengan refleks mengepal karena takut. Entah apa yang membuatnya menjadi gugup dan takut seperti ini, dirinya sendiri tak paham. Yang jelas, Kiana tak berani berhadapan langsung dengan Ardan.

"Lo lagi sibuk main?" tanya Ardan begitu berdiri dengan jarak satu meter dari posisi Adrian.

"Lo masih mau main?" Adrian menatap Kiana yang terdiam cukup lama.

Kiana pun tersenyum tipis seraya menggelengkan kepalanya perlahan. Saat itu juga, tubuhnya berbalik arah dan berjalan dengan cepat untuk duduk di kursi panjang yang berada di luar lapangan.

"Lo pemanasan dulu aja, Dan," kata Adrian seraya merebut bola yang berada di tangan Ardan.

Adrian pun mulai melakukan shoot dari posisinya dan berhasil masuk ke dalam ring. Saat itu juga ia menoleh ke arah Kiana yang tengah duduk sambil melihatnya memasukkan bola ke dalam ring. Ia pun mengangkat ibu jarinya dengan bangga dan sombong. Membuat orang yang menatapnya terkekeh karena ulahnya.

Butuh waktu lima menit Ardan selesai melakukan pemanasan. Mereka pun melakukan permainan One on One dengan Kiana sebagai penonton utama. Kiana terus bertepuk tangan saat Adrian berhasil memasukkan bola ke dalam ring. Tapi sayangnya, tanpa Adrian sadari, mata cokelat Kiana hanya fokus pada laki-laki yang menggunakan kaos berwarna putih polos tersebut. Beberapa kali, ia mengulum senyumnya karena merasa kagum juga dengan Ardan yang berhasil memasukkan bola ke dalam ring atau merebut bola dari Adrian.

Tepat lima belas menit permainan tersebut berakhir. Adrian mendapat skor yang lebih tinggi dari Ardan. Ini adalah hal yang sering terjadi saat mereka bermain One on One seperti ini. Ardan selalu merasa terjebak dengan cara bermain Adrian yang tak tertebak, yang membuat dirinya tertipu dan lawannya itu berhasil memasukkan bola ke dalam ring dengan mulus.

"Ki, gue mau beli roti. Lo mau?" tanya Adrian begitu dirinya berhenti di depan Kiana seraya membuka risleting tasnya mengambil selembaran uang berwarna biru.

"Gue ikut." Kiana langsung bangkit dari posisi duduknya. Sungguh, pikirannya langsung ke mana-mana saat tahu Adrian akan keluar dan meninggalkannya di sini bersama dengan Ardan. Berdua.

Adrian menyentuh kedua lengan Kiana supaya gadis itu duduk kembali. Ia menggelengkan kepalanya dan berkata, "lo di sini aja, temani Ardan."

Ardan yang mendengar namanya disebut pun tak menjawab. Ia sibuk meneguk air mineral yang dibawanya sampai habis tak tersisa.

Lihat selengkapnya