"Gue nggak akan minta izin lo. Tapi, izinin gue untuk terus penasaran sama lo, Kiana."
Kiana mengeryitkan dahinya bingung. Ekspresi yang semula penuh tanda tanya berganti menjadi ekspresi benci melihat kehadiran Ardan di depan rumahnya.
"Sinting. Pergi."
Kiana berbalik dan mendorong pintu gerbangnya dengan kesal. Ia menutup pintu gerbangnya dengan rapat sampai tak melihat Ardan yang masih menatapnya di balik pintu gerbang rumahnya.
Langsung saja Kiana berlari terburu-buru masuk ke dalam kamarnya. Tubuhnya pun langsung rebahan di atas kasurnya yang empuk dan nyaman. Matanya menatap langit-langit kamarnya dengan berbinar-binar. Kedua tangannya menyentuh dadanya untuk merasakan debaran jantungnya yang begitu terasa setelah mendengar perkataan Ardan.
Kiana tak pernah mengira, laki-laki itu akan mendatangi rumahnya dengan berkata hal yang membuatnya berpikir bahwa Ardan memang gila. Kalau saja Ardan tak mempunyai pacar, mungkin Kiana akan maklum dengan perkataan tadi. Tapi, Ardan jelas-jelas memiliki pacar yang bahkan sangat cantik!
Tiba-tiba Kiana mendengar suara deruman motor. Ia langsung berlari dan bersembunyi di balik gorden kamarnya seraya menatap Ardan yang dengan perlahan menghilang dari pandangannya.
Kiana menyandarkan tubuhnya di dinding kamarnya sambil merasakan degup jantungnya yang berdebar hebat karena ulah Ardan.
*
Ardan melempar tasnya ke sembarang arah. Tubuhnya ia sandarkan di sofa empuk yang ada di ruang tamu rumahnya. Matanya terpejam dengan jari-jemarinya yang memijit pelipisnya dengan pelan.
Entah ada masalah apa dengan otaknya, tapi justru yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Kiana. Gadis yang baru sebentar masuk ke dalam hidupnya tapi mampu bertahan di pikirannya selama beberapa hari ini. Pikirannya terus terganggu dengan kehadiran Kiana yang tiba-tiba. Bahkan otaknya terus berpikir keras mengingat kapan ia bertemu dengan Kiana untuk pertama kalinya.
Oke. Ardan ingat soal pertandingan basket saat itu. Tapi, usai pertandingan, Kiana langsung memanggil namanya tiba-tiba. Ia sendiri masih bingung saat itu.
Tiba-tiba posisi duduknya berubah menjadi tegap. Matanya melotot tiba-tiba. Ia ingat senyuman Kiana saat itu. Saat mereka pertama kali bertemu di Ekstra Stadium. Dalam ingatannya sangat jelas bahwa gadis itu tersenyum ke arahnya. Tapi, kenapa belakangan ini senyumnya itu berubah? Tak seperti saat itu?
Ardan menghela napas. Seakan banyak sekali teka-teki yang perlu dijawabnya untuk mengetahui soal Kiana.
Sebuah lagu rock kesukaannya tiba-tiba berbunyi. Ardan yang masih duduk di sofa pun langsung mengambil tasnya dan mencari ponselnya. Nama Killa yang muncul di layar ponselnya, membuat tangannya refleks menepuk dahinya tiba-tiba.
"Lala.."
"Kamu kenapa pergi?"
"Kamu masih di sana?"
"Udah pulang."
"Mau ketemuan?"
"Aku badmood. Nanti kamu justru yang kesel."
"Maaf, Lala."
"Kamu kasih penjelasan, Ardan. Kenapa kamu pergi?"
Ardan terdiam cukup lama untuk mencari jawaban yang tepat tanpa melukai hati Killa.
"Ada urusan yang penting, La."
Apa? Penting? Apa Kiana sepenting itu sampai ia sendiri tak mau jujur dengan Killa?
"Oh, ya udah."
Panggilan terputus.
Killa yang selalu berusaha untuk mengerti Ardan dan Ardan yang selalu berusaha untuk menyayangi Killa meski sulit. Ini adalah hal yang sangat sulit dilakukan oleh Ardan.
*
"Parah lo. Bukannya ketemu sama Killa, lo justru datang ke rumah cewek lain." Bian melempar jaket yang baru dilepasnya saat masuk ke dalam rumah Ardan.
Ardan mengiyakan ucapan Bian yang memang benar. Kenyataannya ia memiliki pacar yang selalu menemaninya sejak setahun yang lalu. Tapi, ia justru terbawa pikiran dengan suatu hal yang tak penting sampai mendatangi rumah Kiana tiba-tiba.
"Ini penting, Yan."
Langsung saja Bian melotot mendengar jawaban Ardan yang seperti tak merasa bersalah dengan tindakannya.
"Cewek yang lo samperin lebih penting dari Killa? Sumpah lo?"
Bian tahu, bahwa sebenarnya di dalam hubungan sahabatnya itu, hanya Killa yang sangat menyukai Ardan. Killa ingin membuat sahabatnya itu jatuh cinta dengannya dengan mereka pacaran. Awalnya Ardan menolak dengan halus, tapi lama kelamaan Killa seperti membuktikan bahwa ucapannya benar. Nantinya Ardan akan menyukainya seperti dia menyukai Ardan. Tapi, mereka sudah berpacaran selama satu tahun. Dalam satu tahun itu pula, Killa selalu memperjuangkan perasaannya demi Ardan.
Semua cerita itu, Bian tahu. Meskipun ia merupakan sahabat Ardan, tapi dirinya tak bisa membenarkan sikap sahabatnya itu. Jelas, ini salah. Sangat salah sampai membuat gadis polos seperti Killa menahan lukanya sendiri.
"Gue nggak bisa, Yan. Meskipun udah gue paksa sampai gue rela ketemuan sama dia di saat gue masih di Surabaya dan dia di Jakarta."