"Kiana."
"Kenapa?"
Kiana menghela napas. Reaksi laki-laki yang berdiri di hadapannya ini membuat dirinya gemas sendiri, untuk kesekian kalinya.
"Kenapa cuma panggil nama gue, tanpa lo kasih tau alasan maksudnya?"
Kiana melihat laki-laki itu tersenyum lagi. Senyumnya memang manis, tapi lama-lama rasanya muak dengan senyuman tanpa alasan itu. Ia ingin berhenti dari halusinasi yang terus mengganggunya sejak saat itu.
"Semuanya akan terjawab."
"Kapan?"
Nada dering alarm dari ponsel yang terletak di atas nakas pun terdengar nyaring dan membuat pemilik ponsel menggeram kesal. Karena bunyi ponselnya yang selalu mengganggu dan merusak mimpinya. Mimpi yang muncul satu kali dalam beberapa waktu. Mimpi yang sangat ingin untuk dicari tahu tentang apa maksud dari semuanya.
Karena selama ini hanya potongan-potongan mimpi yang selalu datang di setiap tidurnya.
Kiana bangkit dari posisi duduknya bersiap untuk membuka gorden kamarnya, tetapi notifikasi pesan masuk dari ponselnya membuat ia kembali duduk dan melihat layar ponselnya yang menyala.
Melihat nomor yang tak dikenal ada di layar ponselnya, ia pun langsung mengetikkan sandi layarnya dan membaca pesan masuk tersebut.
From: 080199999xxx
Hai. Ini gue Ardan. Kalo lo ngerasa kenal nama gue, tolong bales pesan ini ya. Thanks.
Mata Kiana langsung melotot tak percaya dengan apa yang dibacanya barusan. Bahkan ia sampai membaca berkali-kali untuk memastikan penglihatannya. Ia juga mengusap wajahnya untuk menyadarkan dirinya bahwa ini nyata.
Jari jemarinya terasa kaku untuk membalas pesan tersebut. Rasanya aneh sekali dengan tingkah Ardan yang di luar dugaan. Dari mana dia dapat nomor handphone-nya? Kenapa dia sepenasaran itu sampai membuat Kiana lama-lama bisa ilfeel dengan tingkah Ardan.
Kiana memilih untuk tak membalas pesan tersebut. Ponsel yang semula berada di genggamannya pun diletakkan di nakas berwarna krem di samping tempat tidurnya.
*
Kiana masuk ke dalam kelasnya tepat lima belas menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Ia langsung duduk di samping Alda seraya meletakkan tasnya di atas meja. Ia mengeluarkan cokelat batangan yang dibeli Adrian di supermarket kemarin dan diletakkan di hadapan Alda langsung.
Alda yang melihat cokelat batangan di hadapannya pun menginjak-injakkan kakinya semangat. Refleks ia memeluk Kiana sekilas dengan tersenyum lebar.
"Makasih, Ki! Sumpah, Adrian tepatin janjinya banget. Padahal gue kira dia bercanda doang," katanya seraya memegang cokelat batangan tersebut.
Kiana terkekeh dan mengangguk.
Saat itu juga bel masuk berbunyi keras dan tak lama Pak Rito sebagai guru matematika masuk ke dalam kelas 12 MIPA 2.
"Selamat pagi anak-anak!" sapa Pak Rito seraya meletakkan buku-buku bawaannya beserta penggaris panjang berbahan kayu yang selalu dibawanya saat mengajar.
"Pagi, Pak!"
Pak Rito berjalan ke tengah, seraya menghitung jumlah murid yang hadir hari ini. Setelah dirasa sesuai, beliau tersenyum seraya menyentuh kumis tebalnya.
"Ayo Rega, pimpin berdoa dulu."
"Siap, Pak!"
Rega memerhatikan situasi teman-temannya sebelum berdeham. "Duduk siap grak!"
"Mari kita semua berdoa dulu sebelum pelajaran dimulai supaya pelajaran yang kita terima dapat dipahami dengan baik. Berdoa mulai."
Semua yang ada di ruang kelas pun menundukkan kepalanya dengan serentak.
"Selesai."
Seluruh siswa pun mendongak dan menatap Pak Rito yang kembali berjalan menuju mejanya untuk mengambil spidol. Beliau mulai menuliskan judul bab untuk pembahasan materi hari ini. "Statistika" adalah judul bab yang tertulis di papan tulis.
"Siapa yang tahu mengenai materi ini?" tanya Pak Rito dengan berjalan mendekati Gika yang duduk dua bangku dari depan.
"Ayo, Gika. Jelaskan."
Pak Rito mengetuk meja di hadapan Gika pelan sambil memerhatikan murid-murid lainnya yang tengah sibuk mencari dari buku paket atau bahkan ada yang membuka ponsel secara diam-diam.
"Tentang statistik gitu, Pak!" jawab Gika percaya diri dan menyengir ke arah Pak Rito.
"Ya apa jelaskan. Apa aja yang termasuk materi ini?" Pak Rito menyentuh kumis tebalnya lagi dan menatap Gika yang masih memperlihatkan cengirannya yang khas.
Ade yang duduk di samping Gika pun mencolek pelan dan menunjukkan buku paket matematika wajib pada halaman 72. Gika membaca sekilas dan tersenyum mengerti.
"Mean, modus, median, gitu ya, Pak?"
Pak Rito pun menghela napas. "Ya. Lain kali tidur jangan begadang. Pagi-pagi begini, sudah mengantuk saja. Sana cuci muka."
Gika menggeleng dan tersenyum. "Sudah nggak ngantuk, Pak. Soalnya sudah diberi pertanyaan. Mata saya langsung seger."
Sontak jawaban dari Gika membuat teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Karena memang Gika tak peduli dengan sikap galaknya Pak Rito, dia hanya ingin menjawab seadanya dan membuat suasana kelas tak terlalu menegangkan.