Kiana menggigit jari-jarinya saat membaca pesan Ardan yang baru saja masuk. Mengetahui bahwa Ardan segila ini, membuat dirinya cukup takut untuk mengenal Ardan lebih jauh.
Untuk apa Ardan memaksa bertemu?
Untuk apa Ardan ingin menemuinya?
Untuk apa laki-laki seperti Ardan mau mengenalnya?
Jari jemari Kiana pun sejak tadi sudah mulai mengetikkan balasan untuk Ardan. Jawaban apa saja yang membuat Ardan berhenti mengganggunya.
Otaknya pun mulai berpikir berbagai jawaban yang sejak tadi diketik, kemudian dihapus. Begitu seterusnya, sampai rasanya gemas sendiri.
To: Ardan
Stop ganggu gue atau gue bilang Adrian?
Kiana langsung melempar ponselnya ke tempat tidurnya. Jawaban final yang baru saja terlintas di otak Kiana. Mungkin, Ardan akan takut untuk mengganggunya lagi kalau Adrian tahu soal ini. Pikiran pendek seorang Kiana Arshanna yang tahu bisa saja idenya itu gagal.
Tiba-tiba panggilan masuknya berdering dengan nyaringnya sampai membuat Kiana terlonjak kaget. Rasanya begitu mengintimidasi untuk berjalan mengambil ponselnya yang masih tergeletak di atas tempat tidurnya.
Bagaimana kalau panggilan tersebut dari Ardan dan mengajaknya untuk bertemu?
Bagaimana kalau Ardan tak peduli dengan ancamannya?
Bagaimana kalau Ardan tak merasa takut dengan Adrian sebagai tamengnya?
Kiana menggeleng dengan tegas dengan berbagai macam pikiran negatifnya yang membuat nyalinya menciut untuk mengambil ponsel. Ia pun menarik napas panjang dan berjalan untuk mengambil ponselnya.
Dilihatnya nama Adrian yang berada di layar ponselnya, membuat Kiana bernapas lega dan tersenyum.
"Halo?"
"Kiana?"
"Kenapa?"
"Lo lagi sibuk?"
"Nggak sih, kenapa memangnya?"
"Mau ke warung penyetan dekat perumahan?"
"Nggak deh, kenyang gue."
"Oh.. Eh, Dan. Lo nambah nasi?"
Refleks Kiana melotot mendengar nama yang baru saja disebut Adrian. Langsung saja Kiana mematikan panggilan dan melempar ponselnya di atas tempat tidur lagi.
"Ardan.. lo justru bikin gue takut banget. Padahal dulu gue pengin ketemu sama lo."
*
"Arkan bambang!"
Alda meneriaki nama Arkan dan menambahkan nama bambang di belakangnya dengan nyaring. Suara Alda dan langkah kakinya yang begitu menghentakkan lantai di sepanjang lorong kelas 12, membuat siapa pun yang mendengarnya pasti langsung menutup telinga. Karena suaranya bisa saja merusak pendengaran orang yang ada di sekitarnya.
"BALIKIN KUNCI MOTOR GUA, BAMBANG!" seru Alda lagi.
Alda dan Arkan saling kejar-kejaran dari mereka masih di parkiran sampai sekarang mereka ada di kelas Arkan.
Alda langsung mengumpat di dalam hati. Benci rasanya masuk ke dalam kelas yang bahkan hanya satu dua yang ia kenal. Bukannya tak ingin kenalan, tapi kebanyakan cewek-cewek di kelas Arkan adalah tipe orang yang pendiam.
"Kejar sini, Yang."
Arkan melambaikan tangannya ke arah Alda saat ia berdiri di bagian belakang kelasnya. Melihat Alda yang menatapnya dengan garang justru membuatnya ingin tertawa melihat ekspresi Alda yang justru terlihat lucu saat itu.
"Yang, yang, kampret!"
Malas untuk mengejar Arkan yang masih berdiri di belakang kelas, Alda pun meninggalkan kelas Arkan dengan tangan mengepal kuat-kuat. Ingin sekali melayangkan tangannya ke pipi Arkan yang sangat mulus itu.
Sepanjang Alda berjalan dari kelas Arkan menuju kelasnya, di dalam hatinya ia terus menyumpahi Arkan dan mengumpat habis-habisan. Benci sekali rasanya mengenal sekaligus satu sekolah dengan Arkan. Tak terima rasanya, suasana paginya sudah rusak karena ulah laki-laki yang paling dibencinya.
Tiba-tiba seseorang mencekal lengan Alda saat kakinya akan masuk ke dalam kelasnya. Refleks Alda langsung menoleh pada laki-laki menyebalkan yang berhasil merusak suasana paginya.
"Ngambek mulu."
Arkan mengangkat salah satu tangan Alda dan membuka kepalan tangan Alda dengan lembut. Diletakkannya kunci motor yang disimpannya beberapa saat yang lalu.
Arkan tersenyum tipis tanpa sepengetahuan Alda.
"Gue kasih gantungan kunci, siapa tahu lo suka. Kalau lo nggak suka, buang aja," kata Arkan yang langsung berlalu meninggalkan Alda.
Alda pun langsung melihat benda yang berada di genggamannya. Refleks matanya membelalak begitu melihat gantungan kunci yang menyatu dengan kunci motornya. Gantungan yang berwarna pink dengan tulisan huruf A di atasnya.
"Najis."
Alda langsung masuk ke dalam kelasnya dengan emosi yang masih menggebu-gebu. Kalau saja ada yang mengganggunya setelah ini, otomatis orang tersebut akan kena semprotnya.
"Gemasnya," kata Kiana saat Alda baru saja duduk di sampingnya.
"Kampret."