"Kiana."
"Ya?"
"Kamu tahu..."
Kiana memerhatikan laki-laki di hadapannya. Laki-laki berbadan tinggi dan tegap yang belum pernah dijumpainya. Tapi.. pertemuan mereka kali ini, tak terasa canggung sedikit pun. Justru anehnya, Kiana merasakan jantungnya berdebar hebat tak seperti biasanya.
"Kenapa?"
Laki-laki itu menggeleng dengan tersenyum memperlihatkan lesung pipinya di bagian kanan.
Saat itu juga, benda persegi panjang yang terletak di samping bantal pun bergetar dan berbunyi nyaring. Membuat Kiana yang masih nyaman pada posisi tidurnya pun terbangun. Tangannya bergerak mencari ponselnya. Kemudian jarinya menggeser layar ponselnya dan meletakkannya di telinga kanannya.
"Hm?"
"Lo masih tidur, Ki?"
"Kenapa?"
"Ayo, lari. Gue di depan rumah lo."
"Hah?!"
Refleks dia langsung duduk dengan mata terbelalak. Bahkan nyawanya pun belum terkumpul penuh.
Tapi...
Sosok laki-laki yang begitu digandrungi di sekolahnya itu datang secara tiba-tiba tanpa mengabarinya. Laki-laki dengan blasteran Jawa dan Korea yang begitu diidolakan oleh teman-temannya. Dia adalah Adrian Margiata sosok ketua OSIS di sekolahnya yang begitu digemari siswi-siswi. Ya.. selain tampan dan pintar di akademik, jiwa kepemimpinannya patut diacungi jempol. Dia juga salah satu pemain basket yang berpengaruh di tim sekolahnya.
Itulah yang membuat Kiana selalu insecure berteman dengan Adrian yang sangat diperhatikan di sekolahnya. Otomatis, kedekatan mereka juga menjadi bahan pembicaraan teman-temannya. Adrian yang ganteng itu mau berteman dengan Kiana yang biasa saja. Tak ada yang menonjol dari seorang Kiana Arshanna. Karena mereka pun dekat karena rumah mereka yang hanya selisih beberapa rumah saja.
Tapi, sekarang? Adrian justru mendatangi rumahnya tiba-tiba hanya untuk lari pagi.
"Cepetan, Kiana."
Saat itu juga panggilan terputus dan menyisakan Kiana yang masih kesal dengan tingkah Adrian yang suka dadakan soal apapun itu.
"Haish!"
Kiana mengacak rambutnya kesal dan bergerak mengambil pakaian olahraganya di lemari. Ia mencari kaos polos berwarna navy dan celana training warna hitam polos yang masih wangi khas parfum laundry.
*
"Rese banget sih. Dadakan kalo ajakin keluar."
"Lah, lo nggak tahu? Kalo ada rencana justru nggak jadi jadi, kalo dadakan langsung jadi." Adrian tersenyum lebar seraya memasukkan jari-jemarinya ke dalam saku hoodie berwarna putih polosnya.
"Ayo."
Adrian mulai berlari kecil-kecilan meninggalkan Kiana yang masih kesal karena melihat wajah polos tetangganya yang menyebalkan itu.
*
"Lo belum mandi ya?" tanya Adrian dengan suara lantang. Salah satu tangannya bergerak untuk menutupi hidungnya rapat-rapat.
Refleks Kiana memukul lengan Adrian dengan keras. Mulutnya itu benar-benar minta disolasi. Lagian, kenapa juga Adrian tanya dengan suara lantang di taman seperti ini? Di saat orang-orang bermain dan berkumpul di taman. Ya.. Kiana malulah! Apalagi, orang-orang di sekitarnya langsung menatap Kiana sambil tertawa.
"Sumpah, lo kalo ngomong bikin gue malu, Adrian," kata Kiana pelan.
"Sumpah, Kiana. Lo bau asem banget."
"Sumpah, Adrian. Mulut lo pengin gue sumpel pakai kaos kaki gue!" Tangannya melayang di udara bersiap untuk menonjok laki-laki menyebalkan di sampingnya.
"Bercanda," kata Adrian dengan mengedipkan salah satu matanya.
"Hih!"
Rasanya Kiana benar-benar ingin memukul laki-laki di sampingnya ini. Gara-gara ucapannya tadi, orang-orang yang berada di sekitar mereka masih mencuri pandang ke arahnya. Bahkan ia sampai mencoba mencium tubuhnya sendiri, mencari aroma tak sedap yang dimaksud oleh Adrian. Tapi, memang dasarnya Adrian adalah teman yang usil. Nyatanya, yang ia rasakan hanya aroma bayi yang disemprotnya sangat banyak tadi pagi.
"Besok sabtu gue ada tanding basket di Ekstra Stadium, Ki. Mau nonton nggak?" Adrian menoleh ke arah Kiana yang sedang memerhatikan anak kecil yang sedang bermain. Bibirnya tertarik membentuk senyuman manis yang bagi kaum hawa yang melihat pun akan terpesona.
"Heh." Adrian menyenggol lengan Kiana pelan. Membuat yang disenggol menoleh dengan menaikkan kedua alisnya bertanya.
"Besok sabtu gue ada tanding basket sama SMA Kartini. Lo mau nonton nggak?" ulang Adrian.
Tepat seperti dugaan Adrian, Kiana menggeleng.
"Gue nggak bisa, Adrian. Lo tahu itu."
Adrian tersenyum mengerti. "Gue tahu. Tapi, kalau lo berubah pikiran.." Adrian mengeluarkan kertas berwarna merah berbentuk persegi panjang untuk disodorkan ke Kiana. "Terserah lo, mau datang atau nggak."
Kiana menerima kertas tersebut dan membacanya. "Final?"
Adrian menggangguk. "Pertandingan terakhir gue di SMA."
"Serius?"
"Ya iyalah! Kan mau belajar buat persiapan UN."
Kiana tertawa terbahak-bahak. "Lo udah pintar, ngapain belajar lagi."
"Ya, kan mau belajar persiapan UN sama lo," jawab Adrian dengan pandangan genitnya.
"Ngada-ngada," balasnya seraya tertawa.
"Lah, lo nggak mau belajar sama yang rangking satu seangkatan?"
"Sombong bener!"
"Canda kali."