“Sekian presentasi kali ini, saya kembalikan forum kepada dosen yang terhormat.”
Rasa lega sekaligus bangga menyelimuti diri Burhan, seorang mahasiswa semester satu yang masih sering tersesat di koridor kampus, tapi tiba-tiba harus maju jadi presenter dadakan.
Kok bisa dadakan?
Bagi Burhan yang merasakan sendiri, tentu tahu alasannya. Semua itu gara-gara teman kelompok yang menyebalkan.
Malam sebelumnya, Burhan yang baru saja selesai makan malam mendengar suara notifikasi WhatsApp berdering. Sebuah pesan baru muncul di grup mata kuliah Ekologi. Pengirimnya: sang dosen pengajar.
[Saya ingatkan sekali lagi, kelompok yang bertugas presentasi besok harap dipersiapkan dan setor file presentasinya ke saya saat ini juga!]
Burhan melongo membaca pesan itu. Ia bergumam sendiri, "Kenapa nadanya ngegas banget? Kelompok lain santai-santai aja menjelang presentasi. Kok giliran kelompokku kayak disambar petir?"
Pikirannya langsung berkeliling, bercampur aduk panik.
Emangnya ada kesalahan, ya?
Kalau iya, di mana salahnya?
Ia mencoba mengingat proses penyusunan tugas kelompok. Beberapa hari sebelumnya, Burhan sempat bertanya pada Diyon, teman satu kelompoknya. Waktu itu jawaban Diyon sederhana
"Udah siap kok, tinggal setor aja kalau dosen minta."
Tapi ada yang terasa janggal, sesuatu seperti ada batu besar yang mengganjal di kepala Burhan. Setelah sepuluh menit berpikir, ia akhirnya membuka kontak Diyon dan menelponnya.
"Yon, jadi tugasnya udah aman kan? Kok dosen tiba-tiba ngegas gitu?" tanya Burhan begitu sambungan tersambung.
Dari seberang terdengar suara lemas penuh rasa bersalah.
"Sorry, Han… laptopku mati total. Kena tumpahan es campur adikku."
Burhan mendengus tak percaya.
"Kok bisa adikmu main di kamarmu?"
Diyon menjelaskan, saat itu ada tamu di rumahnya. Adiknya dan anak tamu disuruh main di kamar Diyon biar nggak ganggu orang tua mereka ngobrol. Nah, apesnya, ketika anak-anak itu main, segelas es campur tumpah tepat di atas laptop, membuat air masuk ke dalam keyboard. Parahnya lagi, saat itu Diyon sedang jalan-jalan dengan pacarnya. Jadi laptop benar-benar tidak terselamatkan.
Burhan langsung merasa darahnya naik. Situasi makin genting, deadline mepet, dan parahnya lagi Diyon malah mengeluarkan jurus andalannya: power of kepepet. Jurus yang sering ia banggakan. Katanya, sejak SMA kalau ada tugas mepet, solusinya cuma satu: menghilang sehari penuh.
Yang lebih bikin kesal lagi, Diyon masih sempat minta tolong pada Burhan tanpa punya malu.
"Kalau dosen nanya, bilang aja aku sakit ya, Han. Plisss…"
"Parah! Kau pikir sekarang kita masih SD, hah?!" geram Burhan.
Diyon tetap santai, seolah tak merasa bersalah. Burhan hanya bisa menggeleng, tak habis pikir. Rasanya ingin marah, tapi apa daya. Ia tak bisa benar-benar membenci Diyon karena dua alasan.
Pertama, mereka tinggal di kost yang sama.