PATAHAN

Tulisan Tinta16
Chapter #3

Pindah

Suasana sore di aula belakang kost begitu tenang. Cahaya matahari mulai meredup, dan sinar lampu malam mulai menyelinap lewat celah-celah jendela. Lantai aula beralaskan tikar anyaman plastik, dipenuhi beberapa buku bersampul rapi. Burhan yang mengikuti kegiatan rutin ngaji sore duduk di barisan belakang sambil bersila di samping Diyon. Sementara Arto dan Faisal, tetangga kamarnya, berada di barisan depan.

Ustadz Budi, seorang pria paruh baya dengan cerutu Samsoe-nya, telah siap mengajar mereka. Dengan tenang, beliau membuka kitab ngaji. Suaranya berat, namun lembut saat menjelaskan kaidah bahasa Arab.

"Coba, Burhan, baca baris kedua," ucapnya sambil menunjuk halaman kitab yang harus dibaca.

Burhan menunduk, menatap teks Arab di hadapannya. Dengan suara agak pelan ia mulai membaca,

"Al-‘ilmu nūrun, wal-jahlu dhulmatun…"

Diyon menyenggol siku Burhan pelan sambil berbisik, "Kencengin dikit suaranya, biar kedengeran jelas sama ustadz."

Burhan tersenyum kecil, lalu mengulang dengan suara lebih lantang.

"Bagus," sahut Ustadz Budi. "Artinya apa, Burhan?"

"Ilmu itu cahaya, sedangkan kebodohan adalah kegelapan," jawab Burhan mantap.

"Betul sekali," ungkap Ustadz Budi. "Contohnya dalam kehidupan sehari-hari apa, Han?"

Sebelum Burhan sempat menjawab, Faisal menyela dengan candaan khasnya.

"Kayaknya pas banget tuh contohnya buat Arto yang tiap ngaji sering tidur."

Semua yang hadir tertawa kecil. Diyon ikut menambahkan sambil tergelak,

"Iya, tiap kali ngaji dia sering ngilang. Ternyata tiduran di kamar sambil main Mobile Legends sampai lupa waktu!"

Arto hanya bisa tersipu malu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Wokeh-wokeh, saya salah. Besok saya usahain nggak males-malesan lagi," ujarnya kikuk.

Burhan menahan tawa meski dalam hati setuju dengan candaan teman-temannya. Kehangatan suasana ngaji sore itu membuatnya nyaman. Bukan sekadar belajar, tapi juga ruang kebersamaan mereka di perantauan.

Setelah ngaji, mereka biasanya nongkrong di halaman kost, berbagi cerita kuliah, kadang memasak bersama di dapur umum, atau sekadar ngobrol soal masa depan. Kost ini sudah jadi rumah kedua bagi Burhan sejak dua tahun lalu, ketika ia merantau dari kampung halamannya di daerah Harapan Makmur untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi di Pelita.

Namun kehangatan itu tak bertahan lama.

Malam harinya, Burhan dipanggil ke ruang pengurus kost yang terletak di depan kamarnya. Di sana sudah ada Pak Ipul, salah satu pengurus tingkat atas yang dikenal galak.

Pak Ipul membuka pembicaraan tanpa basa-basi.

"Saya sudah dapat laporan tentang kamu, Burhan. Kamu dianggap melanggar aturan kost: sering keluar malam, berisik sampai ganggu yang lain tidur, dan nggak disiplin ikut kegiatan gotong royong."

Burhan terkejut. "Lho, maaf, Pak… siapa yang lapor? Urusan kegiatan saya selalu ikut, kecuali kalau bentrok sama kuliah sore."

Pak Ipul menggeleng keras. "Alasan! Aturan tetap aturan. Kalau melanggar ya risikonya jelas. Kamu harus keluar dari kost ini!"

"Pak, kenapa kesannya sepihak banget? Nggak ada peringatan tertulis, tiba-tiba disuruh keluar kost." Protes keras Burhan.

Wajah Pak Ipul tetap dingin.

"Saya cuma menjalankan kebijakan yang berlaku. Besok kamu harus berkemas dan pindah dari sini."

Suasana mendadak hening. Burhan menunduk, hatinya gelisah. Ia merasa ini tidak adil. Bagaimana mungkin hanya karena salah paham, ia harus diusir dari tempat yang sudah seperti rumah sendiri.

Lihat selengkapnya