PATAHAN

Tulisan Tinta16
Chapter #6

Di Usir

sinar mentari perlahan turun dari langit kampus. Udara lembap sisa hujan sejak subuh masih menggantung di sekitar sekretariat Ikatan Mahasiswa Lingkungan. Lampu neon redup menggantung di langit-langit, memantulkan bayangan buram ke dinding yang penuh tempelan pamflet lama. Burhan duduk di kursi kayu panjang dekat jendela, memijat pelipisnya yang terasa nyeri.

Hari itu ia sudah lelah sejak siang. Seharian jaga sekolah, kini ia masih harus mengikuti rapat organisasi. Di depan ruangan, Alfa, ketua organisasi yang baru terpilih, berdiri tegap sambil menatap papan tulis.

"Teman-teman," suaranya terdengar tegas, "tahun ini kita harus buat rekrutmen anggota baru yang lebih meriah. Kita butuh panitia yang serius dan bertanggung jawab supaya acara berjalan lancar."

Beberapa anggota mulai mencatat, sebagian lainnya hanya diam. Burhan berharap nama dirinya tak disebut. Namun, seperti biasa, takdir punya cara sendiri untuk bergurau.

"Untuk ketua panitia," kata Alfa lantang, "aku merekomendasikan Burhan."

Burhan langsung mengangkat kepala.

"Apa? Aku? Serius, Fa?"

"Iya," jawab Alfa mantap. "Kau punya pengalaman, bisa komunikasi dengan baik. Aku percaya kau mampu memimpin acara ini."

Burhan menatap ke sekeliling, mencari dukungan. Abil dan teman-teman lain hanya saling pandang, bahkan ada yang sengaja menunduk pura-pura sibuk.

"Fa, kau tahu aku kerja, kan? Sepulang kuliah aku harus jaga sekolah sampai tengah malam. Kenapa harus aku yang ditunjuk?"

Alfa menarik napas panjang.

"Justru karena kau kerja, aku percaya kau lebih disiplin. Kau bisa mengatur waktu."

Burhan tertawa hambar. "Kau pikir semudah itu? Aku sering kelelahan, Fa. Kadang rasanya sudah nggak punya tenaga."

Suasana rapat mendadak canggung. Abil akhirnya mengangkat tangan.

"Izin bicara, Ketua."

"Iya, silakan," jawab Alfa.

"Kalau Burhan terpilih jadi ketua panitia, dimohon pada kita semua yang ada di sini, mari berkerja sama dan support selalu kak Burhannya sebagai ketua panitia. Jangan semua tugas dibebankan ke dia sendirian."

"Tentu," jawab Alfa cepat sembari menatap Burhan tajam.

"Ingat, Han, janjimu waktu itu."

Ucapan itu membuat ruangan hening. Hanya Alfa, Burhan, dan Ainur yang tahu maksudnya. Burhan menghela napas dalam-dalam. Dalam hatinya, ia ingin menolak, tapi rasa enggan melawan janji membuatnya terpaksa menunduk.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Aku terima, Ketua."

Rapat berlanjut, keputusan disepakati. Namun, di dalam dada Burhan, ada firasat tak enak yang berdesir pelan, seolah keputusan malam itu akan membawa badai ke dalam hidupnya.

Hari-hari berikutnya berjalan berat. Setiap pagi Burhan kuliah, sore menjaga sekolah, malam mengurus kepanitiaan. Proposal, sponsor, rapat, dan laporan datang silih berganti. Tubuhnya lelah, pikirannya penuh. Ia beberapa kali ketiduran di pos jaga, lupa menyapu halaman, bahkan terlambat membuka gerbang sekolah.

Sampai suatu malam, pesan masuk dari Pak Suko.

[Han, bisa ke ruang guru malam ini?]

[Mumpung saya masih belum pulang kerumah.]

[Ada hal penting yang mau saya bicarakan sama kamu.]

Burhan sudah bisa menebak arah pembicaraan itu.

Lihat selengkapnya