PATAHAN

Tulisan Tinta16
Chapter #7

Kursi Ketua

Hujan baru saja reda sore itu. Burhan duduk di kursi kayu ruang kos kecilnya bersama Kiki. Bau tanah basah masuk lewat jendela yang setengah terbuka, membawa aroma segar yang menenangkan. Sejak siang, obrolan mereka tak jauh-jauh dari organisasi yang mereka geluti, yaitu Student Environmental Movement Alliance (SEMA).

Kiki, yang selama setahun terakhir menjabat sebagai ketua di tingkat fakultas yang dinamakan sebagai West Mountain, menatap Burhan dengan senyum tipis.

"Han," katanya pelan, "aku sudah pikir panjang. Saatnya pergantian kepemimpinan. Dan semuanya sepakat, kau yang gantiin aku."

Burhan terdiam. Kata-kata itu terasa berat baginya. Ia tahu Kiki bukan hanya ketua, melainkan juga teman kos dan sahabat yang selalu menjadi tempatnya pulang.

"Kenapa harus aku?" suaranya lirih.

"Karena kau dirasa cocok dan mampu mengemban amanah," jawab Kiki mantap. "Kau punya rencana, punya visi. teman-teman percaya sama kau, termasuk diriku juga."

Burhan menunduk. Jantungnya berdetak lebih cepat. Selama ini, ia selalu berada di barisan belakang, membantu, mengatur strategi, dan memastikan acara berjalan lancar. Kini, tiba-tiba ia didorong ke depan untuk memimpin.

"Kalau memang itu keinginan bersama..." Burhan menghela napas panjang. "Aku terima. Tapi aku nggak bisa sendiri, Ki. Kau tetap di sisiku, kan?"

Kiki tertawa kecil. "Tenang. Aku tetap di belakangmu. Kau tinggal melangkah."

Pada hari yang telah ditentukan, Burhan resmi menjadi Chairperson of SEMA West Mountain, menggantikan Kiki.

Hari-hari berikutnya dipenuhi kesibukan. Burhan menulis banyak rencana di buku hitam lusuhnya, mulai dari perombakan struktur hingga perekrutan pengurus baru. Di daftar paling atas, ia menulis satu nama: Ahan.

Ahan adalah teman seangkatannya, seseorang yang selalu hadir di setiap rapat, membantu di setiap acara, bahkan menenangkannya ketika Burhan jatuh. Baginya, Ahan bukan sekadar teman, melainkan rekan seperjuangan.

Sore itu, mereka bertemu di warung kopi dekat kampus. Tempatnya sederhana, hanya meja kayu panjang dan lampu kuning redup.

"Han," Burhan membuka percakapan sambil menyeruput kopi hitam, "aku butuh kau di kepengurusan. Jadi sekretaris umum. Kau mau, kan?"

Ahan pun menjawab. "Bur, aku siap jadi bagian kepengurusan. Tapi aku juga punya keinginan sendiri di kuliah ini."

Burhan mengangguk pelan. "Makanya aku tanya, apa maumu? Kalau aku bisa bantu, aku akan usahakan. Anggap ini negosiasi."

Ahan tertawa kecil. "Negosiasi, ya? Oke. Nanti aku bilang, tapi bukan sekarang, ada waktunya.”

Lihat selengkapnya