Hujan baru saja reda sore itu. Udara kampus masih terasa lembap, dedaunan di taman berkilau terkena sisa tetesan air. Burhan berjalan cepat menuju kontrakan kecilnya. Pikirannya penuh oleh rapat yang baru saja selesai. Isu lama ternyata masih membayangi, yaitu konflik yang seolah tidak pernah padam antara dua sosok penting, Kiki dan Diran.
Konflik itu bermula sejak kepengurusan sebelumnya. Sikut-menyikut dalam tubuh organisasi, saling menjatuhkan, dan saling memojokkan sudah menjadi hal biasa. Putra yang dulu berperan sebagai penengah kini ikut terbawa arus pusaran itu. Burhan tidak pernah benar-benar mengerti mengapa semuanya harus begitu rumit, tetapi ia merasakan ketegangannya secara langsung.
Organisasi internal kampus bernama Badan Eksekutif Teknik Lingkungan kini memiliki presiden baru bernama Darya. Semua orang tahu bahwa Darya adalah bagian dari kubu Diran. Sejak awal ia menjabat, kebijakan yang keluar dari mejanya terasa berat sebelah. Kiki jelas merasa dirugikan. Semangat idealisme yang dulu ia tanamkan seakan ditelan intrik pribadi.
Burhan bersama Oby yang kini menjabat sebagai ketua baru di tingkat fakultas berusaha memahami situasi. Namun apa yang mereka dengar selalu datang dari dua sudut pandang yang berbeda, dari Kiki di satu sisi dan Diran di sisi lain. Sulit bagi mereka menentukan kebenaran di balik semua cerita.
Di sebuah ruangan gelap dengan lampu redup yang menggantung di tengah, percakapan rahasia berlangsung. Anggota inti East Association yang merupakan sayap pengurus Badan Eksekutif Teknik Lingkungan berkumpul. Udara terasa berat, seakan ada beban besar yang sedang digodok.
Darya duduk di kursi tengah. Wajahnya dingin dan nada suaranya tajam.
"Aku dengar isu, katanya Ahan ingin jadi presiden menggantikan aku."
Faris yang merupakan salah satu loyalisnya cepat menimpali.
"Betul, Pak. Kabarnya ia sudah mulai mendapat dukungan. Termasuk dari Burhan."
Muhdi menambahkan dengan nada serius, "Kalau dibiarkan, dia bisa jadi ancaman. Kita harus cegah sejak dini."
Rakan yang sejak tadi hanya mendengarkan mengangguk pelan.
"Setuju. Jangan biarkan kekuatan baru itu tumbuh besar. Kalau dibiarkan, kursi presiden bisa direbut."
Di pojok ruangan, Ainur duduk dengan wajah canggung. Ia kini memegang dua jabatan sekaligus, sebagai Duke of the Lingkungan Pelita Institute di organisasi ekstra dan sebagai Perdana Menteri Badan Eksekutif Teknik Lingkungan Pelita di internal kampus. Posisi itu membuatnya harus berhati-hati. Ia sadar pembicaraan malam itu jelas memojokkan Ahan.
Alfa ikut membuka suara.