PATAHAN

Tulisan Tinta16
Chapter #9

Tunggu dan Lihatlah

Hujan telah lama reda, tetapi langit malam masih menyimpan sisa suaranya. Burhan berjalan perlahan menyusuri lorong gedung konferensi yang kini sunyi, tempat siang tadi suara manusia berdesakan, bergelut antara argumen dan ambisi. Sekarang hanya ada bayangan lampu kuning pucat yang bergetar di dinding, seolah sedang menua bersama malam.

Jam di ujung ruangan menunjuk pukul sebelas lewat empat puluh lima. Waktu itu terasa aneh, karena terlalu larut untuk berharap, namun juga terlalu awal untuk menyerah.

Di langkahnya, Burhan membawa dua hal: kemenangan dan kehilangan. Undang-undang yang ia perjuangkan akhirnya disahkan, tetapi di balik tepuk tangan yang bergema, hatinya terasa seperti bangunan tua yang baru saja kehilangan tiangnya. Ia tahu bahwa dalam politik, kemenangan jarang datang tanpa korban. Kali ini, korbannya adalah sesuatu yang lembut dan sederhana, yaitu cinta yang perlahan ia bunuh dengan tangannya sendiri.

Ia berhenti di depan jendela besar yang menghadap ke kota. Lampu-lampu neon di luar sana berkedip seperti mata yang mengejek, menertawakan betapa kecil dirinya di tengah huru-hara ambisi manusia. Burhan menarik napas panjang, menatap jalanan yang masih hidup, seolah kota itu memiliki denyut yang tak pernah tidur.

"Apa gunanya kemenangan bila tak ada yang menunggu di ujungnya?" pikirnya lirih.

Angin membawa aroma kopi basi dari ruang rapat yang belum sempat dibersihkan. Bersama angin itu, datang pula suara gesekan kecil dari balik pintu ruangannya. Burhan menoleh. Dari bawah pintu, terselip amplop cokelat tipis.

Ia berjalan mendekat. Tangannya sedikit bergetar saat mengambilnya. Tak ada nama, tak ada tanda pengirim, hanya kalimat pendek di bagian depan, seperti doa yang lahir dari kegelapan.

"Jangan percaya siapa pun. Bahkan mereka yang kau sebut kawan."

Burhan mematung. Kata-kata itu terasa seperti tangan dingin yang menepuk bahunya. Ia membuka amplop itu, dan selembar foto hitam-putih jatuh ke lantai.

Lihat selengkapnya