Abad 21, 2017 Masehi.
Waroeng Caprik, lantai II. Salah satu cafe kekinian yang tidak menerima banyak pengunjung saking keterlaluan dalam memasang harga. Makanan dan minuman yang disajikan memang sedap sungguhan. Bahkan banyak orang yang keburu basah lidahnya ketika mencium kepulan asap dari cerobong ruang masak.
“Pesanan nomor 117?”
“Eh, nomor pesanan kita berapa sih, Ra?”
“230.”
“Ha. Seriusan lo?! Coba sini gue lihat.” Nita merebut secarik kertas berisi nomor pesanan. “Weh, padahal kita cuma pesan kopi hitam kental sama cappucino creamy. Lama banget jadinya.”
“Sabar dikit dong, Nita. Kita kan sebentar lagi jadi sarjana. Ingat loh, kita akan jadi pusat perhatian masyarakat luas.”
“Ya ampun, Tiara. Lo kayak baru kenal gue dipinggir jalan. Kita temenan dari orok. Rumah aja sampai dempetan kayak enggak ada lahan lagi. Gue enggak ada kepengenan dari SD sampai sekolah di gedong buat bercita-cita jadi ... jadi ... apa sih namanya?”
Perempuan berparas bidadari itu terkekeh mendengar penuturan temannya yang tidak pernah berubah, dan dia bahagia karenanya.
Tiara Ayuni, namanya. Hidup dan besar dengan kemewahan tidak menjadikannya pribadi manja dan berlaga. Dia adalah perempuan paling sabar yang pernah dikenal Nita Fadilah. Meski terkadang kesabaran itu membuat Tiara terlihat sangat lugu dan polos seperti anak kecil yang mudah diculik.
“Ya udah. Iya, aku yang salah. Sekarang aku cek dulu pesanan kita ya. Hm ... permisi, Mas? Nah, iya-iya. Mas yang itu.”
“Ha? Siapa?”
“Iya, Mas yang tadi menaruh kertas undian di meja saya.”
Nita menutupi wajahnya sambil menggerutu dalam hati, gue yang mulai pikun atau emang hari ini Tiara lagi sengklek-sengkleknya.
“Hey, Mas Pela—“ Dengan cepat Nita membekap mulutnya. “Ish. Lo udah kenceng, salah orang lagi. Bisa diusir kita dari cafe ini.”
“Mmmpphh!”
“Awas ya kalo sampe lo panggil cowok yang pake jas rapi itu pelayan. Enggak bakal gue ajak jalan-jalan sore lagi. Titik!”
“Heem heem...” dehamnya sambil menganggukkan kepala.
Sejak viralnya anak muda seusia mereka yang tampan dan mapan, terbentuk planning besar di alam bawah sadar Nita untuk mendatangi resto kekinian yang tidak bisa dimasuki sembarang orang. Walau kini ia hanya mampu memesan kopi hitam dan cappucino—berkat istiqomah menabung dari SMA sampai duduk di bangku kuliah semester 7, kepenatan itu terbayar seketika. Furniture dan doodle art yang menjadi khas cafe itu secara tidak langsung memberi gambaran kreatifitas luar biasa dari pembuatnya.
“Hey, Ladies! Lagi berdua aja nih? Boleh gabung, enggak?”
“Y-yaa ... yaa ampuuunnn!” Nita berteriak histeris tatkala pria bertubuh semampai, putih mulus bak boyband k-pop memberi tatapan penuh arti ke matanya. Tiba-tiba Tiara membekap mulutnya seraya memperingatkannya agar tidak membuat kekacauan.
“Tuh, hayo. Jangan lupa sama cita-cita kamu. Nanti kalau kita didepak keluar dari sini, kita enggak akan bisa masuk lagi.” Perempuan bertubuh imut itu malah terkapar lemas, tak kuat menaham pesona CEO muda.
Kursi pun ditarik, meja menjadi sekat. Ia duduk berhadapan dengan Tiara, dan mengulangi mantra mujarab itu padanya.
“Nah, sekarang tiada lagi penghalang untuk mengarungi samudera bersamaku, manis.”
“Ha? Siapa? Aku? Kamu tadi panggil aku ‘manggis’?”
Deg...
Setahu gue, bidadari enggak ada yang budeg. Apa gue yang kurang update? Batinnya, kikuk.
***
“Orang kalo disuruh makan malah baca buku, disuruh kerja bakti malah rebahan. Nah, begitu tuh hasilnya. Pegel kan kuping lo?”
“Hengg.” Balasnya sekena telinganya.
“Hang-heng hang-heng! Gue godot gigi lo pake sirih. Buruan sono mandi. Pak Karni sama Pak Geb udah ngejedok bae di lobby. Et dah, kudu bet gue yang guyur apa ya? Apa lo mau gue ceritain—“