Dera berbaring di sofa, terdiam merenungi suara samar yang melintasi gendang telinganya ketika hendak meninggalkan Waroeng Caprik. Tatapnya nanar, batinnya bergejolak. Benarkah saya bisa jadi manusia seutuhnya?
“Ealah, si mahluk nyebelin udah pulang.” Endin menghampirinya, menenteng sekantung penuh jengkol rebus pedas. “Oi, bengong bae sih, Der. Gue kan enggak boleh nanya, jadi lo duluan dong yang cerita.” Dera tidak menanggapi ucapannya, melainkan menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. “
Ya udah nih makan dulu. Gue tahu, lo abis diusir sama security cafe. Coba setel TV napa kali-kali. TV segede gaban gini lo anggurin aja dari dulu. Hadeh, lo dikasih fasilitas sekelas sultan malah diem-diem aja, Dera. Ini semua bentuk kepedulian warga, asal lo tahu.”
Dera buka mulut dan menyekak ujarannya. “Kepedulian atau ketakutan?”
“Dua-duanya.”
“Terus lo takut sama gue, Din?”
“Enggak.”
Dahinya menggerut, “Kenapa lo enggak takut?” Jiwa pahlawan kesiangan Endin merasa terpanggil untuk menjelaskan betapa sakti dirinya. “Kalo lo berani macem-macem sama gue, tuh ... ada jengkol seplastik. Noh, di dapur udah gue siapin sekarung beras. Gue tinggal timpuk pas lo lagi mangap, biar tenggorokan lo kelolodan nelen jengkol bulet-bulet!”
“Gue nanya serius, Endin.”
“Gue jawab bercanda, Dera.”
“Jawab yang bener buruan.” Kalimat yang keluar dari mulut Dera selalu bernada datar, kecuali saat dia marah.
“Ogah! Lo aja kalo diajak ngobrol susah. Orang mau nanya salah, giliran diem ditanya-tanyain. Ujung-ujungnya bukan ngobrol, malah horor.”
Tingnong...
“Buset...”
“Jangan bicara kasar di depan gue.”
“Iya, maap. Lama-lama gue berasa ceweknya dan elo cowoknya,” keluh Endin beranjak pergi membukakan pintu.
Dera mengambil novel yang belum dituntaskannya sambil berkata, “Kalo lo udah bosen punya hati, tumbalin aja buat gue. Gue butuh hati.”
“Hm. Terserah lo deh, mahluk!”
Belum sempat Endin melakukannya, tamu tak diundang sudah duduk di bahu sofa.
“Ya ampun, betapa manisnya Dera ketika sibuk membaca buku.”
“Bungkam mulutmu, Ki. Jangan ganggu aku.”
Lelaki berbusana petani kampung zaman baheula itu cengengesan, lalu menaruh topi anyaman khas pengembara ke meja tempat Dera meletakkan buku-buku bacaannya. “Seingin itukah kau menjadi manusia, Dera?”
“Kelihatannya?”
“Jangan membuat orang tua kesal. Nanti kau kualat.”
Dera menutup bukunya, bangkit dari ritual rebahan, meluruskan kaki ke bawah meja dan menyandarkan tubuhnya. “Berapa lama lagi aku harus menunggu, Ki?”
“Hey, bertanya yang sopan kepada orang yang lebih tua. Hadapkan wajahmu yang tampan buatan itu pada orang yang kau ajak bicara.”
“Apa ini cukup?”
Lelaki tua itu tidak benar-benar melihat wajahnya, tapi dia melihat ke dalam matanya. Tergambar jelas sosok pemuda berkulit sawo matang yang ceria dan dikelilingi orang-orang yang menjadi berharga karena keberadaannya.
Ia mendengus sambil membenarkan posisi duduknya. “Aku tidak melihat sedikit pun keraguan di matamu. Akan tetapi ada beberapa hal lagi yang perlu kuajarkan padamu. Lebih tepatnya mewariskan sesuatu yang tidak bisa aku berikan ke sembarang orang.”
Dera memalingkan wajahnya, mengambil novel yang terhalang topi jerami. “Bukankah aku sudah mewarisi semua ajian dan kanuraganmu, Ki?”
“Heh, jangan congkak di depan gurumu! Mari kita lihat seberapa kuat dirimu untuk menerima warisan ini. Jaga dirimu baik-baik dan hindari berbicara dengan perempuan. Aku pamit, dan jangan kangen.”
Dera berdehem tanda mengiyakan, tapi jantungnya bergejolak silah pendapat.
Semoga aku tidak melupakanmu, segelap apapun jati dirimu di masa lalu.
“Der, tadi kayak ada yang mencet bel, tapi orangnya enggak—“ Mulutnya pakem, berusaha tidak menciptakan kebisingan. Endin mendapati mahluk berambisi itu tengah tertidur dengan tangan membekap novel yang—mungkin—tidak akan pernah dituntaskannya.