Tidak perlu waktu lama untuk para pemain bayaran tiba di Kampus Abima. Mereka datang sebagai aktor laga perdana yang disponsori oleh CEO ternama. Tak segan samurai sepanjang 1,5 meter dihunuskan kepada petugas keamanan. Gerbang kampus pun dibuka lebar-lebar, memperlihatkan kehadiran pria-pria tangkas berakal pendek yang bersorak gaduh mengangkat berbagai macam senjata mematikan. Sontak penghuni kampus berhamburan ke segala arah untuk menyelamatkan diri.
“Wah, kelihatannya ada banyak demit-demit jelek mau berkelahi lagi. Aku duduk di sini deh. Toh, mereka enggak bakal sakitin aku kalau aku enggak sakitin mereka.” Dengan santai Tiara bersandar di bawah pohon mangga sambil memeluk tas biru mudanya.
“Botol minum aku di mana ya? Jangan-jangan tertinggal saat belajar tadi. Hm... Siapapun yang menemukannya, semoga dia bisa merawat botol minumku dengan baik.”
“Pasukan macan dan singa sudah masuk ke dalam kampus. Berapa korban yang perlu kita jatuhkan, Bos?”
“Dua anak lebih baik,” jawab Arvi di telepon. “Setelah itu kabarin gue lagi. Gue masih mau khusyu memandangi—“ Matanya membelalak ketika dipandangnya seorang lelaki bertubuh kerempeng, berparas kampungan dengan rambut acak adul menghampiri Tiara.
“Loh, kok tiba-tiba ada cowok?!”
***
Tiara melirik arloji yang menggandeng lengan kirinya lalu berdecak kesal sambil memegangi lehernya. “Sudah berteduh di bawah pohon rindang, tenggorokanku tetap saja meradang.”
“Hm.”
“Weh, maaf-maaf!” serunya bangkit seketika menyadari keberadaan lelaki aneh yang mematung memperhatikannya. “Maafkan saya. Saya terpaksa duduk di sini karena saya kehausan. Kalau saya haus, saya tidak bisa berpikir. Kalau saya tidak bisa berpikir, saya tidak bisa menghitung. Kalau saya tidak bisa menghitung, kehidupan saya akan berakhir sia-sia.” Jelasnya tanpa melihat dengan siapa dia bicara.
“Hm.”
“Kalau begitu, izinkan saya istirahat di sini satu menit lagi.”
“Hmm.” Dera menanggapinya sekenanya karena pandangannya terfokus pada kerumunan gila di ujung sana.
“Terima kasih telah berbaik hati.” Dengan tampang super polos dibalik kecantikannya, Tiara kembali duduk bersandar memeluk tasnya dan memegangi tenggorokannya.
Dera kembali menatapnya lekat, tepatnya penasaran. “Apa kamu warisannya?” Tiara bertanya balik, tetapi Dera membentaknya lebih dulu. “Saya cuma ingin membuat perhitungan kecil. Kalau tidak diizinkan, tolong bantu saya menghindari perkelahian demit-demit jelek itu,” pintanya menutupi kepala dengan tas.
“Aku tidak diperbolehkan berbicara banyak dengan perempuan. Aku bisa selalu salah menilaimu karena aku tak pandai berhitung. Kau boleh berhitung di sini, tapi jangan beranjak satu langkah pun. Hm, dan hal satu lagi. Jangan pernah mengajukan pertanyaan apapun kepadaku,” tuturnya dengan nada datar seperti meneguk air bening hingga kembung.
Tiara memulai perhitungannya. Dera mengatur napas, memasang kuda-kuda bertarung.
“Baiklah. Siapapun namamu. Aku tidak ingin menatap wajahmu. Dilihat dari caramu berbicara, sepertinya kamu cocok dijadikan umpan. Tapi kalau kamu bisa bertarung melawan tiga sampai lima orang bersenjata, pergilah ke sisi barat untuk memancing kerumunan demit itu ke lahan yang lebih luas.”
Seketika itu Dera terdiam melongo. Di keadaan genting seperti ini, ada manusia yang menyempatkan berdongeng? Segila apa perempuan dihadapanku ini? Batinnya mengumpat.
“Jarak dari kantor polisi menuju kampus ini berkisar 2,3 kilometer sampai 2,45 kilometer. Menurut perhitunganku, kerumunan demit itu mudah dilumpuhkan jika kamu—“
“Tak usah banyak cengcong!” Terkejut mendengarnya, Tiara buru-buru menoleh ke arahnya. Akan tetapi mahluk menyebalkan itu telah menghilang sebelum mata mereka beradu pandang.
Wuuuss..
Dera muncul secara tiba-tiba dihadapan mereka. Ketua pelaksana rencana B memerintahkan seluruh pasukan untuk berhenti di tempat, kemudian dia merogoh saku kemejanya untuk menghubungi Boss-nya.