Patih Nyasar!

Syarif Hidayatullah
Chapter #5

Patih Kudet!

Dalam pertarungan terakhirnya, Patih Girda menggenggam pergelangan tangan Raden Srinata Burah seraya mengucap sebuah mantra pengunci aliran kanuragannya. Seketika itu muncul simbol-simbol aneh yang saling silang-menyilang.

“Jika kau mengeluarkan kanuragan lagi, ajian ini akan menggerogoti kekuatanmu sampai ke inti kehidupanmu,” ujarnya memberi peringatan halus.

Raden Srinata Burah menatap ke dalam matanya, tersenyum angkuh. “Apakah ini tanda bahwa kau bisa saja tewas jika aku mengeluarkan seluruh tenagaku, Girda? Matamu bilang begitu.”

Patih Girda melipat dan mengunci tangan kanannya ke belakang, ditambah menahan aliran kanuragan yang menyalur di tulang belakangnya.

 “Sebesar apapun kanuraganmu, tiada setetes air laut pun dapat kau sandingi. Allah-lah pemilik segala daya dan kekuatan di seluruh jagat alam raya. Terimalah hukuman atas kebodohanmu menghancurkan tanah warisan Uyut Cakrabuana. Kau sangat lancang, Burah!”

Krekk...

Patih Girda mulai mematahkan tangan kanan Raden Srinata Burah, walau lawannya tidak meringis kesakitan sedikit pun.

“Lepaskan dia, Patih Girda.”

Mendengar suara itu, kedua mata mereka membelalak. Tak ada dari mereka yang berani menolehkan pandang. Namun dengan sisa tenaga dan satu jalur kanuragan yang dimilikinya, Raden Srinata Burah memberanikan diri untuk melirik paras cantik tiada dua dari Dwita Rusmina, mahluk abstrak yang diperwujudkan sebagai Kembang Tanah Busilen.

“Aku tidak bisa membiarkan dia hidup, Dwita Rusmina. Ini adalah keputusan para patih. Kuharap kau tidak mencampuri urusan ini.”

“Kau sedang apa?”

“Apakah kau belum melihatnya dengan jelas? Aku sedang mematahkan—“

“Bukan kau, Patih Girda, tetapi orang yang sibuk kau patahkan lengannya itu.”

“Apa yang kau maksud, Dwita?”

“Orang itu sedang menatapku.”

“Tidak, Dwita. Itu tidak mungkin terjadi!” Patih Girda benar-benar mematahkan tangan kanan Raden Srinata Burah, lalu menutup semua aliran kanuragan di dalam tubuhnya.

Krekekk...

Patih Girda melepaskannya dan membiarkannya terbujur kaku di tanah berlumuran darah. “Dia hanya memiliki dua pilihan. Memaksa kanuragannya keluar dan mati mengenaskan atau menerima kekalahannya dan kehilangan semua ajiannya tanpa ada satu pun yang dapat dikembalikan.” Begitulah fungsi dari ajian pengunci yang ditanamkan Patih Girda ke dalam tubuh Raden Srinata Burah.

“Sekarang dia tidak lagi menatapku, Patih.”

Sambil merebahkan tubuhnya di tanah, dia kembali bertanya tanpa menatap Kembang Busilen yang sedari tadi melihat awal dari sejarah abu-abu wilayah keramat itu.

“Apa maksud dari ucapanmu, Dwita Rusmina? Aku hampir kehabisan tenaga. Biarkan aku di sini menunggu para patih sembari menghaturkan syukur kepada Sang Penguasa Alam Semesta. Kau boleh pergi dan tak banyak bicara mengenai diriku.”

Wuuss...

“Dia tidak lagi menatapku. Ini terlalu erat, aku tak bisa bernapas.”

***

 

Gemercik air dalam ember menjadi saksi bisu. Dua perempuan yang tengah berpelukan, bergidik ketakutan. Rambut tak beraturan akibat pertengkaran, kini basah terguyur keringat dingin.

Mereka saling bertatapan.

“Rektor kita punya hutang sama siapa, sih?” tanya Mila.

“Mana gue tahu, Mila.”

“Kok, kampus kita bisa-bisanya diserang Gangseter gini, Nit?”

Lihat selengkapnya