Malam hari di dalam gubuk sungguhan, Raden Srinata Burah dan Dwita Rusmina duduk berjauh-jauhan. Yang satu sibuk merebahkan diri dan yang satunya lagi menangis tak henti-henti. Terhitung tiga jam lamanya kembang desa itu membenamkan wajah. Dua panci hampir penuh. Apalah daya jika penghidupan mereka datang dari air matanya seorang.
“Wah, sayangnya titik-titik sarafku dikunci patih gila itu. Kau pun tak bisa melakukan apa-apa selain menangis di sepanjang malam tanpa rembulan ini.” Dia menggerakkan badannya perlahan-lahan, menghadapkan wajahnya pada satu-satunya manusia yang bisa diajak bicara.
“Aku tidak tahu siapa kamu. Aku tidak tahu kenapa kita terdampar di gubuk ini. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain mengharap kedatangan para patih. Aku tidak tahan berlama-lama di dekatmu. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku benar-benar tidak tahu.” Tangisnya semakin keras.
Sebagai pria normal, Raden Srinata Burah tidak tega melihat perempuan tak berdaya terisak siksa hingga sesesak ini. Matanya melirik pintu gubuk, lalu membulatkan bibirnya seraya menyiuli pintu itu sebanyak tiga kali.
“Nah, sekarang kau bisa pergi dari gubuk ini.”
“Tidak bisa.”
“Kau perempuan yang baik. Aku pria yang tidak baik. Tinggalkan saja aku di sini. Kalau pun aku tetap hidup, setidaknya aku tidak akan merepotkanmu lagi. Terima kasih untuk semuanya. Cepatlah keluar melalui pintu itu sekarang.”
Dwita Rusmina tetap kukuh tidak ingin meninggalkannya. Walau diminta ribuan kali, dia tetap tidak ingin beranjak dari gubuk itu barang sedetik.
“Baik atau tidak, jika tidak bisa apa-apa, sama saja seperti bunuh diri.” Raden Srinata Burah termenung mendengarnya. “Heh, jadi sehebat ini kembang desa Tanah Busilen. Betapa beruntungnya aku bisa menyalamatkanmu.”
Dwita Rusmina menoleh ke arahnya, tapi bola matanya bergerak ke atas. “Apa maksudmu?”
“Perlukah mata indah itu membunuhku lewat atap gubuk yang runtuh karena pesonamu? Aku bukan tukang cuci otak seperti kakakku. Bawakan pandangan itu padaku agar aku tahu, seperti apa manusia yang diciptakan Tuhan Penguasa Seluruh Alam Semesta untuk bersanding di sisa-sisa kehidupanku.”
“Oh, aku kira kau—“ Tidak ada lagi kata setelah jarak jadi dekat dan ruang semakin menyempit. Di langit yang terhampar bebas, rembulan hadir bersama purnamanya. Sejarah abu-abu yang dicegah susah payah pun berubah dengan rekam jejak mereka.
Revolusi Busilen telah tiba.
***
Dera dibuatnya tak berkutik—bisa dibilang kalah telak.
Endin benar-benar mempraktekkan jurus yang dipelajarinya melalui kanal YouTube. Namun serangan pamungkas yang mampu menewaskan cicak dan lalat itu justru meleset ke kepala sekretaris RT yang melompat, menghalau tepakkan panas itu.
Blentang!
“Waduh! Kena Pak Geb,” ucap Endin seperti tak berdosa.
Pak Karni berjalan dengan wajah teduh bak pemilik rumah. “Kebetulan pengamanan di ruang lobby sedang lapang. Jadi, kami berdua masuk dan ingin menanyakan bagaimana kelanjutan perizinan rumah ini.”
“Wah, Pak RT masuk!” Sekarang Endin panik bol geter. “Eh, saya bisa jelaskan semuanya, Pak. Sebenarnya ini hanya miskomunikesyen (dilafal mentah-mentah).”
“Tapi sudah genap sepuluh tahun kalian menunggak! Ini sudah kelewat batas P4BL—singkatan dari Peraturan Perundang-undangan Penyewaan Papan Bintang Lima!” bentaknya menendang panci di tangan kanan Endin hingga terlempar ke wajah sekretarisnya. “Jika bukan karena orang tidak waras yang ... mana orang itu?”
Endin menunjuk Dera, dan Dera menunjuk Pak Karni.
“Kenapa manusia setengah-setengah itu menunjuk ke arahku, wahai Tukang Jengkol?”
Dengan entengnya Dera berkata, “Bukankah dalam perjanjian hitam di atas putih kalian berkenan meminjamkan sebuah papan. Di manakah papan yang kami sewa itu?” Pak Karni langsung melongo, “Ini hanya perasaanku atau kita sedang kembali ke zaman batu?”
Keadaan semakin panas, tetapi Pak Karni sibuk mengumpat tanpa sepengetahuan mereka. Apa aku harus memberitahunya di suasana menyebalkan seperti ini? Mungkinkah dia akan mendengarkannya?
“Heh!” seru Dera memecahkan lamunannya.
“Apa?”
“Jangan gampang bengong. Ada alasan tersendiri kenapa manusia biasa tidak diperkenankan masuk melebihi ruang lobby. Lihatlah ke sekeliling!” Pasukan penjaga yang terdiri dari siluman hingga campuran dari hewan dan manusia mengelilingi pria paruh baya yang selalu tampil rapi dengan setelan dinasnya.
Dia bukan tipe pria yang mudah kehabisan siasat. Itulah salah satu alasan kenapa dia terpilih sebagai seorang patih. Dia menyatukan telapak tangannya ke depan, merapalkan ajian yang membuka jati dirinya.