Dokter Fauzi atau akrab disapa Mazji nampak tertekan dengan ancaman dari lelaki paruh baya di luar ruangan. Ramai-ramai orang di sekitar rumah sakit berbondong-bondong mendatangi ruangan itu, membantu para security yang belum juga menemukan titik terang mengusir lelaki gila yang masih bersila di depan pintu.
“Kenapa aku bisa setakut ini dengan tua bangka yang berani menjatuhkan harga diriku!” serunya, mengacak-ngacak rambut.
“Bisa-bisanya dia menyuruhku untuk melihat kondisi pasien dengan riwayat pemulihan terburuk sepanjang masa. Kalau tahu akan seperti ini jadinya, lebih baik aku kembali jadi pengusaha ager keliling.” Mazji terus menggerutu hingga dirinya memulai proses pemeriksaan terhadap pasien muda yang terbujur kaku di ranjang selama hampir 10 tahun lamanya.
Setelah melakukan re-check setengah jam lamanya, sungguh nihil. Kondisi tubuh pasien baik-baik saja, bahkkan diagnosa gagal jantung yang kabarnya sempat diperhitungkan para medis di rapat khusus dokter se-Indonesia juga tidak terbukti kebenarannya.
“Benar-benar sulit dipercaya!” Mazji amat tercengang, namun berusaha mengendalikan dirinya. Kalau bukan karena tua bangka itu, aku mungkin sangat kesulitan masuk ke sini. Ditambah wali pasien yang cerewet dan keras kepala itu. Tapi apa yang harus aku lakukan sekarang? Batinnya berpikir keras.
“Hoy!” Pria paruh baya itu menyudahi tapaannya dan bersikap masa bodo dengan apa yang tengah mengelilinginya dengan senapan api. “Bagaimana kondisi anak itu? Apakah kau benar-benar dokter terbaik?”
Tidak ada jawaban apa-apa.
“Segera tangkap lelaki tua itu dan bawa dia ke penjara sekarang!” Bu Diah berteriak histeris hingga melemparkan barang-barang yang dibawa aparat keamanan setempat. Akan tetapi lelaki misterius itu tidak mengidahkannya. Dia membiarkan benda tajam sampai tumpul itu berterbangan mengenai kepala, pundak, lutut, dan kakinya.
“Hooy! Apa telingamu sudah tuli?” tanyanya dengan nada lebih tinggi.
“Hai, Pak Tua! Cepat angkat tanganmu dan menyerahkan diri ke polisi atau kami terpaksa menembakmu sebagai peringatan!”
“Hooyy, dokter gilaa!” Ketukannya semakin kencang, bahkan kelewat batas norma kesopanan.
Brraakk!
Mazji yang bersembunyi di balik ranjang pasien terlempar beberapa meter akibat hembusan kuat dari kanuragan yang hanya dikerahkan sepersekian persen.
Bu Diah tak kuasa melihat pria itu meluluh-tankahkan ruangan anaknya. Matanya terpejam dan dia terkulai lemas di lantai, disusul ledakan revolver yang melesat bertubi-tubi. Tiada lagi pilihan selain melumpuhkan pria berbusana jadul bak pengembara pengangguran. Aparatur keamanan bergerak cepat membekuk orang tersebut, dan sisa penonton membopong wali pasien ke tempat yang lebih aman.
Kelima tukang jagal sewaan yang sebelumnya bergidik ngeri, kini bergemetar seperti tersengat listrik, merasakan hal aneh yang mengembalikan nyalinya.
“Kau sudah tidak memiliki jalan keluar lagi, Wera.”
Suara ini ... Dwita Rusminaaa! Geramnya melihat sepasang kekasih tak serasih itu bekerja sama menutup titik-titik kanuragannya.
“Temani aku minum kopi setelah drama ini selesai,” kata Ki Burah tersenyum centil.
“Tidak akan!”
“Bagaimana kalau mengembalikan nada bicaramu kepadaku? Apakah itu sulit?”
“Sangat!” ketusnya merajuk. “Cepat kalahkan dia dan kembalikan kampung halamanku!”
“Wah, aku belajar sesuatu darimu, Dewi.”
“Usah banyak cengcong kau, Burah!”
“Baiklah, Sayang. Kita akhiri sejarah abu-abu itu sekarang.”
Ki Burah meningkatkan kekuatannya, dibantu dengan ajian spesial milik Dwita Rusmina yang mampu meningkatkan kanuragan seseorang berlipat-lipat ganda. Itulah sebab Eyang Cakra menyembunyikan dirinya dibalik hutan rahasia yang dijaga ketat oleh siluman-siluman karena tidak ingin dirinya dimanfaatkan untuk melancarkan niat jahat para penguasa di Kerajaan Pasundan.
***
Di sisi lain rumah sakit, dua perempuan dimabuk asmara beradu akting, menarik dinding berlapis-lapis yang menutupi hati Arvi.
“Sudah kukatakan berulang kali. Aku tidak suka dengan kalian. Aku menginginkan Tiara. Aku ingin menikahi bidadari itu secepatnya!” Walau terdengar menyakitkan, Nita dan Mila tetap tak acuh.