Patih Nyasar!

Syarif Hidayatullah
Chapter #8

Pertarungan Di Bumi Mati

Sci-Lab Advance Bekasi City, 20.15 WIB   

Pimpinan bertubuh ramping dengan kaus hitam setengah lengan, menegakkan lutut di depan tabung-tabung laboratorium, memperhatikan pakar-pakar saraf yang meneliti 50 korban tragedi Kampus Abima. Dia menghisap habis dua putung asap agar tetap dalam kendali. Kasus yang sangat gila. Berulang kali dia melempar, merobek, dan menginjak hasil tes yang tak kunjung sesuai dengan nalar kemanusiaannya.

“Apakah tidak ada hasil tes lain, Prof. Hadi? Kau tahu, aku tidak pernah sedikit pun meragukan kejeniusanmu. Mungkin kita perlu mengajukan pemeriksaan berkala untuk memastikan tidak ada alat butut di laboratorium!”

“Mohon kesabarannya, Pak Ridho. Tersisa lima korban yang belum diperiksa. Kami dan profesor akan berusaha lebih keras untuk menemukan pemecahan dari kejanggalan ini.”

“Diamlah, Nuri. Aku ingin mendengar jawaban atasanmu,” tegasnya.

“Biarkan saja dia berkilah, Nuri. Penelitian ini hampir tidak ada gunanya.”

“Apa maksud anda, Profesor?”

“Kita hentikan penelitian ini dan mengembalikan mereka kepada keluarga mereka.” Ridho berteriak geram, berceloteh pahit sambil berjalan keluar dari laboratorium. “Jangan melihat lelaki itu, Nuri. Hujan selalu memiliki cara mengikis kerasnya batu, tetapi hukum itu tidak berlaku untuk tingkah laku.”

Prof. Hadi segera mengabari dinas kesehatan daerah, lalu meminta asistennya merapikan jasad-jasad pucat yang tidak sepenuhnya mati. Tidak ada satu luka sayat pun di tubuh mereka.

Kelima puluh jasad itu bermimpi panjang, dan tidak bisa dibangunkan.

***

 

Di alam lain, ada nyawa yang terancam. Hamparan bumi mati dengan langit mega mendung mengaduk degup jantung mahasiswi polos nan cantik berseragam pasien UGD. Perasaannya berbanding terbalik dengan Dera yang lebih sibuk mencari celah untuk kabur dan mengamankannya.

Ki Burah belum pernah menceritakan apa-apa tentang Raden Srinata Wera (Ki Wera). Mau menganggapnya memiliki hubungan darah pun tak mungkin, karena kanuragan yang dirasakan Dera lewat cekikannya tak sekuat bapak angkatnya.

“Sedari tadi kulihat matamu terpaut padanya. Kukira kau tahu bahwa dia bisa membunuhmu walau tanpa senjata.” Seketika itu cekikannya jadi lebih kuat. Tiara menepak-nepak lengan Ki Wera karena tak sanggup bernapas.

“Permisi, Kisana.” Dera mengambil langkah awal, entah berhasil atau gagal total. “Jika anda memiliki urusan dengan saya, lepaskan saja perempuan itu. Kita tidak membutuhkannya dalam pertarungan, bukan?”

“Bertarung? Apa kau ingin bertarung denganku, Patih Nyasar?”

Dera menggenggam pergelangannya dengan raut muak, lalu memperingatinya, “Tutup mulutmu atau aku tutup hidupmu?”

“Tanah ini adalah wilayah kekuasaanku. Jangan bertindak bodoh jika kau ingin perempuan ini tetap hidup. Kau cukup mengulang apa yang aku katakan, setelah itu kubiarkan dia kembali ke alam manusia.” Ki Wera membuat penawaran yang sulit.

Masalahnya adalah, Dera tidak peduli dengan Tiara. Mati sekali pun, dia masa bodo padanya. Dia berdiri tegak untuk mempertahankan keinginannya menjadi manusia utuh. Kalau harus dengan kehilangan perempuan garang itu, Dera sangat bersedia.

“Too....long...akk...kuu...,” lirihnya berlinang air mata. “Too...long...akk...kuu...Derr...”

“Lihat. Perempuanmu meminta pertolongan.” Ki Wera memusatkan kanuragannya ke tangan kirinya, merapatkan cekiknya di leher Tiara.

“Biarkan saja. Kau boleh membunuhnya sekarang.”

Lihat selengkapnya