Dua bulan berlalu, kuasa hukum Kampus Abima berhasil mendapat dukungan suara dengan tertangkapnya lima orang pelaku penyerangan yang melarikan diri. Ketika petugas mengintrogasi salah satu dari mereka, tidak ada yang berani buka mulut terkait seseorang yang bertanggung jawab atas tidakan mereka. Akhirnya petugas menggiring mereka masuk ke dalam sel tahanan hingga dalang dibalik tragedi itu dapat ditemukan.
“Masalah yang menarik.”
Ridho menyeruput secangkir robusta sambil memutar batang rokok di tangan kirinya. “Kau boleh memaparkan hal lain yang kau tahu mengenai siapa dan apa motif dari tragedi tidak jelas ini. Silakan, Tuan Pengacara.”
“Dari jejak penelusuran TO (Tim Omega) kami, otak dari tragedi gila ini berhubungan dengan perusahaan furniture dan food drink yang sedang naik daun di Bekasi Kota dan Kabupaten.”
“Oh, ini lebih mengejutkanku, Tuan Pengacara. Lantas apa motifnya dan siapa dari kedua konglomerat itu yang harus kudatangi?”
“Aku sendiri belum tahu pasti. Bila ada kabar lebih lanjut, aku akan menghubungi kepolisi—“
“Jangan!” sergap Ridho, lalu memberikan secarik tanda pengenalnya kepada Pengacara Kampus Abima. “Nomor ini saja.”
“Apakah kau berniat menyelesaikan kasus ini sendirian?”
“Jelasnya, sekarang hal ini jadi rahasia kita berdua.” Setelah obrolan berakhir, pengacara berpamitan pergi menuju Kampus Abima untuk menyampaikan kabar bahagia bagi mahasiswa dan mahasiswi yang diberi tugas penelitian lapangan.
“Baiklah, sekiranya kalian sudah memahami bagaimana situasi mencekam yang sempat menghantui pikiran kita semua. Oleh sebab itu, kalian diperbolehkan memilih lokasi penelitian lapangan!” seru Pak Fatur selaku dosen pembimbing, yang disambut sorak meriah Group Perfectly.
“Bapak minta kepada masing-masing ketua kelas menyerahkan data beserta lokasi. Jika lokasi tidak disetujui oleh dekan, maka saya juga tidak menyetujuinya,” lanjutnya dibarengi sorakan hampa.
Nita menaikkan sebelah kakinya ke kursi sebagai bentuk protes keras. “Ah, si bapak mah suka labil kayak ABG jaman naw!”
Tiba-tiba hening, semua mata tertuju padanya.
“Lah, ngapa jadi ngeliatin gue? Emangnya gue tulang?!”
“Zaman now, bukan jaman naw!” koreksi mereka serentak, lebih ngegas.
***
Di tepi sungai tak bernama, Ki Burah duduk seorang diri, mendongak-menunduk tanpa tujuan yang jelas. Kegagalan perdana begitu memukulnya, dan yang lebih menyakitkan ... dia kehilangan Dwita Rusmina dan juga Dera, murid sekaligus putra angkatnya.
Tiba-tiba siluman berwujud ular muncul di depannya.
“Hormat saya, Raden.”
“Hah, kau siapa?”
“Saya adalah siluman yang diperintahkan Paduka Maulana untuk mengantar Raden Burah pulang ke istana. Tiga malam kedepan akan diadakan rapat dewan petinggi dari berbagai kerajaan ghaib. Paduka meminta Raden untuk hadir mewakilinya.”
“Sayangnya aku belum bisa kembali.”
“Mengapa tidak bisa, Raden? Apakah ada perjanjian yang belum tuntas?”
Lama-lama aku jengkel mendengar pertanyaan ular ini, sama seperti dia (Dera). Batinnya, berdiri merapikan bagian belakang celananya.