Patih Nyasar!

Syarif Hidayatullah
Chapter #11

Penangkapan Dera

Kunjungan Tiara Ayuni ke Mall Metropolitan Bekasi nampaknya berbuah manis. Belum sampai habis kobaran semangat praktek lapangan, mahasiswi cantik nan polos itu kembali mengalami kejanggalan, walau kini tidak berbau mistis.

“Loh, tumben di Gramedia seramai itu? Hari ini ada diskon gede-gedean atau ada penulis bestseller yang lagi meet & greet? Yuhu!” Tiara berlari kegirangan dengan raut menggemaskan. Dia menerobos para pengunjung laksana orang naber. Menghalalkan segala cara demi terbukanya sebuah jalan.

“Permisi! Ada air panas.” Satu-dua orang menyingkir.

“Ada abu vulkanik di belakang.” Anak kecil menangis karena berebutan mantan. Lima pengunjung hengkang dari hadapannya.

“Tolong beri jalan! Ada anak conda di gesper saya! Sssttt!”

Fix, auto ambyar.

“Saya masih butuh beberapa buku lagi. Tempat ini dijual, tidak?” tanya lelaki sinting tanpa keraguan sedikit pun.

Penjaga kasir tersentak sesak, pegawai lain berdatangan mengonfirmasi kewarasan kutu buku kelewat kalap itu. Mereka menduga ada salah satu pasien rumah sakit jiwa yang lepas dari pengawasan petugas. Namun waktu berkata lain setelah dia menyerahkan dua puluh kartu ATM dari berbagai banking untuk dicek nominalnya.

“Permisi-permisi ... Aduh!” Sesampainya di toko buku yang super ramai, keningnya malah tersikut lengan salah seorang pengunjung.

“Eh, maaf-maaf, Mba. Kesikut saya ya?”

“Iya-iya, gapapa, Mas.”

“Mba ini, pernah ikut latihan bela diri?” lontar si pelaku memutar pembicaraan.

“Enggak.”

“Zaman sekarang harus hati-hati, Mba. Apalagi paras bidadari seperti Mba ini langka sekali. Sudah cantik, baik, pemaaf pula.”

Terus aja cari alasan sampai sukses. Dasar cowok. Gerutunya lalu berkata, “Alhamdulillah, saya belum pernah mendapati kekerasan fisik, kecuali sikutan Mas tadi.”

“Duh, saya bener-bener minta maaf, Mba. Saya enggak sengaja. Kening Mba jadi benjol gara-gara sikut saya.“ Ia merogoh dompet berisi lima lembar pecahan sepuluh ribu dan dua ribu. “Berapa biaya admin yang harus—“ Tiara melebarkan telapaknya seraya menolak keibaan si pelaku.

“Eh, jangan-jangan! Saya masih ada—“ Begitu memeriksa isi tasnya sendiri, uang yang tiga bulan penuh dikumpulkannya raib bak dirayab. Ke mana perginya semua uang hasil nabung kuliah aku? Batinnya tanpa menampilkan raut panik. “—urusan,” lanjut jedanya, kembali membelah barisan manusia.

Usai memeriksa kebenaran isi rekening, para pegawai segera mengalkulasi total biaya lebih dari seratus judul buku yang dipinang lelaki aneh tersebut. Sambil memperhatikan mereka yang sibuk bekerja dan mempertahankan kewarasan, lelaki itu mendekati satu persatu pegawai, lalu berbisik.

“Kalau saya beli toko buku ini, satu ATM cukup? Atau perlu saya tambah dua?” Habislah ludah mereka, tidak ada yang dapat ditelan selain keringat.

“M-maaf, Kak. Toko buku ini t-tidak dijual,” jawab pegawai pria berambut cepak tanpa menoleh ke arahnya, fokus pada monitor yang akhirnya mengeluarkan harga.

“Baiklah. Berapa yang harus saya bayar?”

“Tiga puluh juta delapan ratus enam puluh empat ribu rupiah.”

Sontak para pengunjung yang mendengar nominal itu, melepaskan smartphone-nya hingga menimbulkan nada padu bak hujan smartphone. Dengan mulut menganga tercengang, satu kata keluar bersamaan.

Lihat selengkapnya