“AKU BENCI KUCING!”
Bellevania Wijayato atau biasa disapa Bella, menunjukkan sebuah luka sayatan di pipi kanannya yang mulai memudar.
“Lihat ini! Ini gara-gara mereka, Bu! Apa enggak cukup buat membuktikan kalau aku benci sama mamalia itu? Tapi apa? Ibu tetap melihara mereka kan! Ibu tetap membiarkan aku tinggal sama sepuluh kucing sialan yang udah ngerusak wajah aku padahal ibu sangat tau, kalau aku benci mereka!” Beberapa kali tangannya naik ke atas, mengangkat anak kucing yang baru lahir dan berniat melemparnya.
“Sekarang, induk kucing itu seenaknya ngelahirin anak di atas koleksi sweater aku. Rusak semuanya, Bu! Rusak sweater bulu kesayangan aku! Ibu enggak pernah pikirin gimana perasaan aku yang udah susah payah ngumpulin uang buat beli barang yang aku mau?” Bella mengusap air matanya. Dia sudah kelewat kesal dengan ulah perliharaan Ibunya. Mengingat dirinya harus rela menahan diri berbulan-bulan untuk tidak menghamburkan uang hanya untuk bisa membeli sweater branded yang dia inginkan, rasanya sangat tidak adil.
Melihat Bella mulai lengah, Dina –Ibu Bella perlahan mengambil anak kucing yang ada digenggaman putrinya lalu memindahkannya pada keranjang yang sudah disiapkan. “Mereka enggak salah, Bella! Kamu sendiri yang lupa kunci kamar dan lemari kamu, kan!”
Melihat ibu masih saja membela kucing-kucingnya, membuat Bella geram. “Ya, makanya punya kucing itu dijaga, biar enggak keliaran!" Bella seolah tak lagi menganggap wanita yang ada dihadapannya adalah ibu kandungnya. "Aku nggak peduli! Aku mau buang mereka, sekarang!” Bella mengambil keranjang tersebut, membawanya keluar rumah dan nyaris membuang mereka, kalau saja Ibu tidak mencegahnya.
“Jangan Bel! Ibu janji, sweater kamu yang rusak Ibu ganti semua. Tolong, jangan dibuang!”
“Ibu bisa saja ganti semua sweater aku yang rusak, tapi kalau mereka masih di rumah, mereka pasti bakal ngelakuin hal yang sama ke barang aku yang lainnya! Berapa ribu kali sih aku harus bilang, kalau aku nggak suka! Aku nggak suka harus hidup sama mereka!”
“Bella, Ibu jamin mereka enggak akan masuk kamar kamu lagi! Ibu mohon sayang, Ibu enggak tega buang mereka!”
“Karena Ibu nggak tega, biar aku yang buang!”
“Cukup, Bella!” Ibu berteriak. Emosinya tak lagi bisa tertahankan. Tangannya lantas kembali mengambil kasar keranjang kucing dari tangan putrinya, lalu menaruh mereka dibelakang tubuhnya. Kedua matanya penuh amarah. Selama ini, ibu bahkan tidak pernah merasa sekecewa itu pada putrinya. “Kalau kamu benci mereka, berarti kamu juga benci sama Ibu!” ucapnya penuh penekanan.
Bella tak percaya dengan apa yang dia dengar dari mulut ibunya. Bukannya meredam emosi ibu, Bella malah balik menatap ibunya lekat. Meski berkali-kali lubuk hatinya menyuruh Bella untuk mereda, tapi pikirannya seolah menolak dan melupakan perasaanya. Lagipula , bagaimana bisa rasa bencinya terhadap hewan itu disamakan dengan perasaannya terhadap Ibu? Kedua matanya kembali menatap tubuh seekor anak kucing dalam keranjang rio, yang berhasil merebut segala yang Bella miliki. Termasuk ibunya. Dan rasa benci yang terus membelenggu dalam hatinya, membuat Bella kehilangan akal sehatnya.
“Iya!” tegasnya.
Dina terkejut. Dia tak pernah berpikir bahwa jawaban yang terlontar dari mulut anak gadis kesayangannya, akan membuat hatinya lebih sakit dari kehilangan pasangan hidup.
“Aku benci sama Ibu. Aku benci siapapun yang pelihara kucing. Aku benci mereka semua!”
Ibu menelan saliva, merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun, hatinya sudah tertutup kecewa hingga memanipulasi pikirannya lalu meluapkan segalanya. “Silakan kamu yang pergi! Angkat kaki dari rumah saya!"
Gadis itu terbelalak. Hanya karena kucing, Ibunya bahkan sampai hati mengusirnya dari rumah. “Oh, jadi lebih milih hidup sama kucing daripada aku?”