PawsLova

Regina Mega P
Chapter #6

#6 Griefing

Dua hari berlalu setelah kepergiannya, Bella masih bertahan berdiam diri di dalam kamar Ibu. Sesekali pergi ke toilet, lalu kembali ke kamar dan memeluk baju atau bahkan memakainya hanya agar bisa merasakan kembali pelukan hangat yang selalu membuatnya candu. Pelukan yang bahkan sudah dua belas hari ini tidak akan dia rasakan lagi, selamanya. Penyesalan yang tidak akan pernah ada habisnya. Bagaimana jadinya jika saat itu dia tidak pergi? Sekalipun Tuhan memang akan tetap memanggil Ibu, setidaknya dia sempat merasakan hangatnya pelukan penuh kasih, meski untuk yang terakhir kalinya. Sayangnya, dia tidak mendapatkannya sedikitpun saat ini. Bahkan dia kehilangan satu-satunya kesempatan mengatakan maaf saat pikirannya tergugah, sehari sebelum kepulangannya ke rumah. Segala andai selalu terngiang di kepala. Berbisik. Berteriak. Mencemooh. Membuatnya muak! Seakan hidupnya tak akan pernah habis dirundung penyesalan.

“Bel…” Astrid masuk, membawa sepiring bubur dan air mineral untuk sarapan. “Please, kali ini aja. Isi perut lo.”

Lagi-lagi diabaikan. Mereka bergantian sejak kemarin membawakan makanan untuknya, namun tetap tak disentuh.

Kedua lututnya kini dia peluk erat. Kembali menangis untuk yang kesekian kalinya bersama baju Ibu yang masih digenggam. Entah sudah berapa banyak air mata yang keluar hanya untuk menyesali kebodohannya.

“Minum, ya. Sedikit aja!” Wajah lelahnya memohon untuk yang kesekian kali. “Gue nggak mau lo sakit!” Astrid menyodorkan gelas berisi air mineral ke arahnya. Berharap sahabatnya itu mau meneguk barang setetes atau dua tetes saja. Sayangnya, keberadaan gelas itu kembali diabaikannya.

Astrid mengehela napas. Sudah dua hari ini dia ikut-ikutan kurang tidur karena menemani Ardi yang juga mendadak insomnia. Lelaki itu bahkan hanya tidur sekejap, lalu bangun dan memeriksa adiknya. Meski beberapa kali, Astrid memintanya untuk segera tidur. Namun, lagi-lagi keberadaannya kembali diabaikan oleh Ardi. Meski begitu, Astrid tidak pergi. Dia berusaha untuk tetap bertahan di sini. Setidaknya sampai keduanya benar-benar sudah bisa pulih karena bagaimanapun mereka butuh seseorang yang benar-benar normal, berada di rumah ini.

Tante Maya juga sudah dua hari ini selalu datang menjenguk keponakannya. Membawakannya makanan agar tidak terlalu memberatkan Astrid. Dan ketika Maya datang, Astrid selalu meminta ijin untuk tidur sebentar karena malam hari dia harus selalu terbangun saat mendengar suara tangis Bella atau mencium bau rokok Ardi. Jika keduanya masih terus begini, baik Maya maupun Astrid sepakat akan membawa keduanya pergi dari rumah untuk sekadar refreshing agar tidak terlalu terbawa suasana sunyi di rumah.

Melihat Bella yang masih menolak makan apapun selama dua hari ini, dan melihat Ardi yang terus menerus merusak paru-parunya dan tak melakkukan apapun di rumah, membuat emosi Astrid memuncak. “Gue tau kalian berduka! Gue tau kalian menyesal karena nggak ada di samping Ibu buat yang terakhir kalinya! Tapi, please! Bisa enggak, kalian ngerti posisi gue juga. Gue bingung banget harus gimana ngadepin kalian yang kayak gini!” Astrid benar-benar bingung meyakinkan keduanya untuk mengikuti arahannya. Bagaimana pun juga, saat ini, dia harus tetap waras berada di antara keduanya.

Astrid menghampiri Bella, mencoba memaksanya makan apapun. “Bel. Please! Gue khawatir banget sama kondisi lo. Gue nggak mau lo sakit. Gue nggak mau lo kenapa-napa. Gue nggak mau kehilangan sahabat terbaik gue. Please! Kali ini aja. Makan, ya! Gue mohon.” Kali ini Astrid berlutut dihadapannya. Berharap dengan cara ini dapat membuat sahabatnya berubah pikiran.

Benar saja, melihat kesungguhan Astrid hingga berpikir untuk memohon dan berlutut di hadapannya, membuat Bella terkejut. Dia lantas berusaha membangunkan tubuh sahabatnya dan menangis histeris, meminta maaf.

“Maafin, Trid. Maaf!”

Astrid kemudian memeluk dan menangis bersamanya. “Maaf gue terlalu kasar sama lo. Bukannya gue enggak bisa ngerti perasaan lo saat ini. Tapi, gue lebih suka lo terbuka. Membagi segala kesedihan yang lo rasain sama gue, kayak biasanya. We are twins as always you say!

“Ibu, Trid! Gimana caranya gue minta maaf sama Ibu? Gimana caranya buat nebus segala kesalahan gue sama Ibu. Ibu pergi karena gue! Semua salah gue! Semua yang Ardi bilang benar, Trid!” Kata-kata Ardi tempo hari membuatnya terguncang.

Astrid berusaha menenangkannya, saat tiba-tiba tubuh Bella jatuh lemas ke dalam pelukannya. “Bella,” panggilnya. Pikirannya berusaha tetap positif. Mungkin dia tertidur karena lelah menangis selama dua hari. Mungkin karena dia belum makan jadi tubuhnya lemas. Sayangnya, seberapa kalipun Astrid berusaha membangunkannya, perempuan itu tetap tidak bangun.

“Jangan bercanda, Bel! Hey, wake up!” Astrid memeriksa keningnya yang terasa sangat panas. Hal itu lantas membuatnya sadar bahwa sahabatnya membutuhkan pertolongan.

“Bel! Bella!” Astrid menjerit. Sesekali tangan kanannya menampar pipinya pelan, berusaha membuat Bella tetap tersadar. Kedua matanya mengedar ke sekeliling, berusaha mencari ponsel yang mungkin saja di simpan Bella di samping tubuhnya. Namun nihil. Dia tak menemukan apapun. Dia bahkan menyimpan ponsel di ruang tamu yang sedang di charge. “Bel. Bella!!!” Astrid menjerit. Menangis melihat kondisi sahabatnya dengan wajah pucat pasi.

Mendengar kegaduhan di dalam kamar Ibunya, Ardi bergegas menghampiri. Dilihatnya Astrid yang terus berusaha membangunkan Bella, panik. Sementara adiknya terlihat tak sadarkan diri. Tanpa pikir panjang, Ardi membopong tubuhnya ke dalam mobil dan membawanya ke rumah sakit. Dalam hatinya dia terus berdoa, agar kejadian dua hari lalu yang merenggut nyawa Ibunya tidak pernah terulang lagi.

***

Ardi pulang dengan beragam paper bag dan koper di tangannya. Astrid berada di sampingnya. Menggandeng tangannya erat dengan wajah berbinar senang. Sudah hampir enam bulan lamanya, dia tidak bertemu dengan calon suaminya. Kepulangan Ardi saat ini selain untuk mendamaikan Ibu dan adiknya, dia juga hendak mendatangi vendor pernikahan untuk mempersiapkan segala kebutuhan untuk pernikahannya. Ardi sadar bahwa setelah ini, dia tidak akan pulang sesering mungkin karena pekerjaannya yang mulai padat.

Keduanya mengetuk pintu. Berharap Ibu akan senang dengan kejutan yang membahagiakan. Di antara jeda waktu menunggu, sesekali Ardi dan Astrid saling membalas kecupan. Mereka sudah tidak lagi malu-malu setiap kali menunjukkan kasih sayang di depan semua orang. Dulu, saat pertama kali meresmikan hubungan di hadapan adik dan Ibunya, keduanya terlihat kaku. Bahkan tak jarang, hal itu menjadi bahan olokan Bella setiap kali mereka bertemu. Astrid jelas tau bahwa lelaki yang menjadi kekasihnya adalah Kakak dari sahabatnya, yang terkadang dia anggap sebagai Kakaknya sendiri. Kebiasaan lama Ardi yang selalu menggoda Astrid setiap kali dia berkunjung ke rumah, menjadi alasan ke canggungan mereka saat itu.

“Nggak ada orang apa?” pikir Ardi.

Klek!

Lihat selengkapnya