PawsLova

Regina Mega P
Chapter #11

#11 Cara Pandang

Bella berada di dalam taksi menuju restoran keluarga yang sudah di janjikan oleh Astrid, siang tadi. Satu jam sebelumnya, dia sempat kebingungan mencari baju yang pas dipakai untuk acara malam ini. Midi dress brukat ¾ yang sempat dia pakai di pemakaman Ibunya menjadi yang pertama dia lihat, saat membuka lemari. Tubuhnya gemetar saat mengingat baju indah itu dipakai tidak pada tempatnya. Beruntung panggilan telepon dari Astrid buru-buru mengalihkan perhatiannya. Mengabarkan bahwa dirinya sudah reservasi untuk acaranya malam ini. Bella berusaha mengalihkan pandangannya, lantas mengambil midi dress lain berwarna lilac dan oversize crop sweater dengan tone warna satu tingkat lebih gelap, untuk menjadi outfit dinnernya.

Sesampainya di tempat tujuan, Bella lantas berjalan menuju tempat yang sudah di reservasi. Heirs Resto berada di dalam sebuah hotel bintang lima yang ada di Selatan Jakarta. Tempat yang paling disukai Ibu dan Ayah setiap kali mengajak kedua anaknya untuk makan di luar. Restoran ini berada tepat lantai sebelas dengan view kota Jakarta yang meriah dengan lampu kota berkelip di bawahnya. Reservasi meja yang di pesan Astrid tepat berada di balkon. Membuat semilir angin malam yang menusuk beberapa kali menyapa tengkuknya. Dingin. Suasana di luar sini sangat berbeda dengan di dalam. Di sana ada live music untuk mengusir sepi. Di sini, tak ada apapun kecuali pemandangan malam dan langit gelap tanpa bintang.

Hening.

Sepi.

Membuatnya frustasi.

Berulang kali Bella mengutuk Astrid karena memilih tempat yang mampu membuat dirinya resah. Keheningan di rumah selama beberapa hari ini sudah cukup membuat dirinya nyaris hilang akal kalau saja, pekerjaan tidak membuatnya tetap sibuk dan melupakan perasaan sepi yang selalu muncul, tanpa diminta.

Bella menatap ponselnya. Sudah jam tujuh lewat lima belas menit, keduanya belum sampai juga. Dia lantas memecah keheningan dengan memanggil waiter, memesan makanan. “Tenderloin steak medium well sama hot jasmine tea.”

“Baik.”

“Bisa pindah ke dalam nggak, Mbak? Dingin disini.”

Pelayan itu menengok ke dalam. Suasana di sana masih terlihat ramai dengan live music yang menggema. Membuat Bella iri dengan hangatnya keramaian di sana.

“Saya cek dulu kesedian kursi di dalam, ya Mbak. Permisi.”

Bella masih duduk dengan tangan terlipat di dada, berusaha menahan dingin yang semakin menusuk. Potongan ingatan hari sebelumnya bermunculan di kepala. Saat melihat Kakaknya menembus derasnya hujan di malam yang dingin hanya untuk menguburkan anak kucing yang dia abaikan. Butuh waktu satu jam sampai Ardi kembali dengan tubuh yang basah kuyup. Bella tak melihat pasti apa yang dilakukan Kakaknya saat itu, namun setelah selesai wajahnya tak lagi bersahabat seperti biasanya, sampai hari ini. Sejak saat itu dia bertanya-tanya, kenapa manusia selalu melakukan hal berlebihan pada makhluk lain?

“Padahal cuma anak kucing. Lagian, hidup matinya makhluk kan sudah di takdirkan.” Entah kenapa, dia merasa ada penolakan dalam hatinya saat berkata demikian. Dia sendiri bahkan tidak yakin, kalau kata-kata itu pantas ada dalam pikirannya.

“Seekor anak kucing, pun punya hak untuk diperlakukan dengan baik.”

Bella terkejut, saat menyadari kata-katanya terdengar oleh Kakaknya.

“Sekalipun Tuhan menakdirkannya harus mati hari itu, bukan berarti kamu bebas mendiamkan dia di tengah hujan, sendirian!”

“Aku kan udah minta maaf!”

Ardi duduk dihadapanya. Menghela nafas, lelah menghadapi sikap adiknya yang masih saja tak acuh dengan hewan.

“Apa yang harus kamu benci dari mereka? Sementara luka kamu aja udah sembuh.”

“Ada luka yang nggak akan pernah bisa sembuh! Jadi bahan bullying selama bertahun-tahun karena punya codet! Aku bahkan nggak punya temen, nggak punya pacar...”

“Kamu punya Astrid. Kamu tetap punya pacar, kan.”

“Yang Kakak labrak nggak termasuk.”

“Tapi setidaknya kamu pernah punya, kan. Terus alasan apa lagi?”

Lihat selengkapnya