Keesokan harinya, Bella disibukkan dengan beragam pertemuan dengan klien, mendampingi Manoj. Mulai dari makan siang di restoran langganan, mengobrol tentang perusahaan dan produk yang dihasilkan, hingga akhirnya klien menunjukkan ketertarikan untuk bekerja sama dengan perusahaan. Kali ini, Bella tidak mempresentasikan apapun. Dia hanya duduk tenang, mendengarkan, ikut tertawa saat salah satu klien melemparkan lelucon garing ala bapak-bapak, dan mencatat poin-poin penting yang akan menjadi bahan diskusi di rapat akhir bulan. Perusahaan saat ini sedang berada di puncak. Dimulai dari harga saham yang terus meroket hingga keberhasilan menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan besar di berbagai kota. Manoj bahkan menjanjikan liburan bersama ke Phuket untuk para karyawannya di akhir tahun.
Tentu saja, bonus juga akan mengalir ke rekening Bella sebagai karyawan yang berhasil menggaet perusahaan besar di Surabaya bulan lalu. Meskipun dia sempat dijatuhkan di depan banyak pimpinan oleh rivalnya, perusahaan tetap mendapatkan banyak keuntungan dari hasil kerja kerasnya. Hal itu tidak terlalu berpengaruh pada performa Bella di hadapan pimpinan.
“Bel, saya dapat informasi kalau rekapan yang kemarin kamu buat ada selisih. Kok, bisa?” Belum satu jam mereka sampai ke kantor setelah pertemuan dengan klien, ada saja masalah yang membuat Bella harus melihat kerutan di kening atasannya.
Bella memijat keningnya yang mulai pening. Bagaimana bisa data itu langsung ada pada Manoj tanpa melewati dia terlebih dahulu untuk di cek ulang kelayakannya. “Saya sudah menghitung sesuai dengan berkas yang Bapak kasih dan enggak ada yang selisih, Pak.”
Manoj memberikan satu bundle berkas keuangan yang sudah diperiksa oleh tim finance. “Kamu cek lagi semuanya! Kalau kerjaan kamu sudah benar, berkas ini tidak akan di kembalikan!”
Tanpa pikir panjang, Bella lantas mengubungi salah satu tim finance yang bertanggung jawab atas berkas yang tiba-tiba muncul di ruangan atasannya. “Mas Pram, berkas yang di kembalikan kenapa langsung ada di Pak Manoj, ya? Kenapa nggak lewat saya dulu? Kalau memang ada kesalahan perhitungan, kan bisa langsung saya kerjakan tanpa perlu Pak Manoj tau!”
“Lho, lho! Saya simpan di meja kamu, kok Bel. Sumpah! Kok, bisa ada di Pak Manoj, ya? Lagian selisihnya juga ndak seberapa, sih. Cuma, ya tolong di rapikan lagi aja,” jelas Pramana dengan logat khas Jawa Timurnya yang kental.
Bella menghela nafas. Lagi-lagi memijat keningnya yang semakin pening. “Ya, masa berkasnya terbang sendiri ke ruangan Pak Manoj, sih Mas!”
“Jangan marah ke aku, lho Bel. Aku ndak salah, toh! Coba kamu tanya Dara. Barangkali dia tau. Kan, seharian ini dia yang gantiin kamu di kantor.”
“Ya, udah. Makasih, ya Mas. Maaf, ya saya emosi.”
“Iya, ndak apa-apa. Aku maklum, kok! Kamu juga pasti di marahi sama Pak Manoj, kan! Yang sabar, ya cantik!”
Bella terkekeh. Menurut informasi rekan yang lain, Mas Pram memang sudah lama menaruh hati pada Bella. Tapi Bella tidak menghiraukannya. Prioritasnya saat ini adalah pekerjaan. Tak ada waktu untuk berlabuh dihati siapapun.
Setelah menutup teleponnya, Bella menyadari bahwa Pram menyebut nama Dara dalam percakapan mereka. Dia tak lagi ingin mencari tahu bagaimana berkas itu bisa sampai di meja atasannya. Sudah biasa, beberapa berkas seringkali "terbang" melewati mejanya langsung menuju ruang Manoj. Sebelumnya, beberapa berkas yang belum ia selesaikan tiba-tiba muncul kembali di mejanya dengan sticky note berisi kata-kata penuh tanda seru, dengan tulisan sambung yang sangat ia kenal. Setelah diselidiki, nama Dara jelas berada di daftar teratas sebagai pelaku. Namun, saat dikonfirmasi, Dara dengan polosnya akan berkata, 'Kirain udah selesai. Si botak udah nanyain terus, jadi gue kasih aja ke dia.' Ketika Bella memarahinya, perempuan licik itu hanya akan bilang, 'Ya, maaf. Gue kan nggak tau.' Kata-kata menyebalkan seperti itu selalu membuat Bella geram setiap kali keluar dari mulut berbisanya.
Pukul 4 sore. Bella sudah memastikan bahwa berkas revisian sudah benar dan di tanda tangani ulang oleh Manoj. Beberapa kali Manoj mendengar helaan napas dengan wajah pucat Bella tanpa make up yang berseliweran dihadapanya. Belum lagi beberapa kali dia melihat gadis itu memijat keningnya. Meski terlihat menyeramkan, tapi Manoj selalu memerhatikan gerak-gerik sekertaris andalannya yang mulai banyak perubahan.
“Kamu butuh cuti? Kerjaan kamu berantakan sekali akhir-akhir ini," ujar Manoj.
Tentu saja, dia butuh. Tapi, jika Bella cuti saat kondisi dirinya dan rekan kerjanya seperti ini, dia khawatir akan ada banyak masalah yang menghampiri saat dia masuk nanti. “Maaf atas kelalaian saya, Pak.”
“Iya, kamu lalai! Hal sepenting ini bisa membuat kita semua di pecat kalau kamu tidak benar mengerjakannya!”
“Saya minta maaf, Pak.”
“Ya, sudah!” Manoj melambaikan tangan, menyuruh Bella keluar dari ruangannya.