Sesampainya di rumah, Bella dihampiri oleh Mili yang terlihat lapar setelah seharian di tinggal pemiliknya. Padahal Bella sudah cukup banyak menuangkan makanan di mangkuknya pagi tadi, tapi saat dia pulang dan memeriksa kondisi makanannya, ternyata sudah habis tak bersisa. Bella lantas menuangkan lagi dry food pada mangkuknya yang kosong yang langsung dihampiri oleh Mili, juga anak-anaknya.
“Mil. Hari ini gue ditampar orang lain yang belum lama di kenal. Sakitnya ternyata bukan cuma di pipi.” Air matanya mulai bercucuran. Bella berusaha sekuat tenaga, menahan tangis selama di kantor. Baru saat sudah merasa aman dengan orang-orang di sekitarnya dia berani menumpahkan segala resah yang dipendamnya.
“Gue pengen banget balas perbuatan dia! Tapi gue sadar, gue masih butuh pekerjaan itu untuk menghidupi kebutuhan harian dan kalian." Bella tersenyum kecut. "Gue masih takut di pecat!” Bella mengusap air mata yang sejak tadi mengalir di pipinya. Dia merasa malu, saat terlihat lemah dihadapan Mili dan anak-anaknya.
Seolah mengerti apa yang dikatakan pemiliknya, Mili mengeong lalu menghampiri dan menyundulkan kepalanya pada kaki Bella. Dengkuran halus yang keluar dari tubuhnya, mulai terdengar. Berdasarkan informasi dari artikel yang Bella baca, dengkuran kucing bisa menjadi salah satu cara meredakan stress pada manusia. Bella jelas tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia lalu mengusap kepala dan leher Mili, kemudian menggendong membawanya ke dalam pelukan. Baru kali ini, dia berani membuka hatinya untuk bermanja dengan kucing setelah sekian lama menghindar. Dan rasanya, benar-benar menenangkan. Dia pernah melihat Ibu mengajak kucingnya curhat setiap kali Bella mulai keras kepala. Lalu, hanya beberapa menit setelah itu wajahnya kembali berbinar. Seolah hanya dengan mengungkapkan segala keresahannya pada kucing, dapat membuat semua masalahnya hilang. Hal itu pula yang terjadi padanya saat ini. Setidaknya, kalut di hatinya mulai tenang setelah dia menceritakan keluh kesahnya pada Mili. Dia tak butuh jawaban atau pernyataan apapun atas semua masalahnya. Bella hanya butuh didengarkan saat ini. Dan baginya, Mili adalah satu-satunya pendengar yang baik yang sangat dia butuhkan.
“Siapa yang nampar lo?”
Bella terkejut! Saat melihat Astrid ada di belakangnya. Dia buru-buru menyeka air matanya. Berusaha tak ingin membuat sahabatnya khawatir.
“Hah! Enggak. Urusan kerjaan.”
Astrid menghampirinya, lalu memeriksa kondisi pipinya. “Ya, tapi kenapa harus sampai ditampar? Karena apa? Lo nggak bilang sama atasan lo?”
“Udahlah! Gue juga yang salah.”
“Ya, tapi nggak harus sampai ditampar! Nggak bisa apa dibicarain baik-baik dulu? Main tampar anak orang aja. Siapa yang nampar? Si Dara? Gue labrak tuh cewek!”
Bella berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak menceritakannya, berusaha menghindari tangisnya yang kemungkinan akan semakin keras. Tapi tatapan Astrid seolah menyuruhnya untuk segera bercerita, kalau tidak ingin berakhir mengenaskan ditangannya.
"Are you okay?”
“Fine.”
“Nggak ada yang mau lo ceritain atau apa gitu?”
Bella memberinya jeda. Sudah cukup banyak, dirinya merepotkan Astrid akhir-akhir ini dengan semua masalahnya. Dia tak ingin merepotkannya lagi, saat ini. “Untuk saat ini, enggak. Tapi kalau ada gue bakal cari lo, kok!”
“Tapi gue tetap nggak rela, ya kalau calon adik ipar gue ditampar orang! Awas aja kalau sampai ketahuan siapa yang nampar!”
Bella mendorongnya masuk ke dalam rumah. “Iya, iya makasih calon kakak ipar atas kepeduliannya. Mending sekarang mandi, terus pesan gefood makan yang enak, gimana?”