Abas datang bersama Indra menggunakan mobil. Sesampainya disana, mereka bergegas membawa anak-anak kucing tersebut masuk ke klinik dengan Bella yang masih menangis sepanjang perjalanan. Dua dari anak kucing dengan luka bakar yang parah pada akhirnya tidak tertolong. Sementara dua lainnya dengan luka bakar ringan masih bisa hidup meski harus kehilangan sebagian bulu dan beberapa luka melepuh di bagian tubuhnya.
Indra kemudian memeriksa anak kucing lainnya. Beruntung tidak ada luka bakar yang serius. Hanya saja, anak-anak kucing tersebut sepertinya baru berusia sekitar satu bulan, dengan tubuh yang sangat kurus.
“Mbak lihat induknya enggak? Soalnya mereka pasti buang sepaket, enggak mungkin cuma anak-anaknya doang!” Sejak awal Astrid menelponnya amarah Abas nyaris mencapai puncak, apalagi ketika harus menyadari bahwa dua anak kucing lainnya harus meninggal karena luka bakar yang serius.
“Gue nggak tau, Bas. Gue cuma lihat mereka,” jawab Bella. Dia benar-benar sudah lelah dengan semua kejadian yang mengejutkannya akhir-akhir ini.
“Bisa jadi induknya kabur karena mereka juga dibawa pake pick up,” Astrid menambahkan. Dirinya juga memastikan bahwa hanya anak-anak kucing itu yang ada disana tanpa induk.
“Di shelter ada indukan yang lagi nyusu?” tanya Indra.
“Ada, sih Bang! Nanti gue coba buat nyatuin mereka. Usia anak-anaknya nggak jauh beda. Mudah-mudahan bisa,” jawabnya. Abas lalu memasukan anak-anak mungil itu ke dalam pet carrier yang sudah disiapkannya.
“Oh, iya. Hope udah aku antar ke shelter. Jadi kalau mau jenguk, kamu tinggal datang ke sana.”
Bella mengangguk paham. Shelter. Tiba-tiba saja, kata-kata Astrid sore tadi tentang kesempatan untuk tetap berbakti pada Ibunya, kembali terngiang. Mungkin Astrid benar, Tuhan seolah menyuruhnya untuk fokus pada pekerjaan yang ditinggalkan almarhumah dan memajukannya kembali seperti sebelum beliau pergi.
Tapi, menerima bahwa dia tidak lagi bekerja dikantoran seperti impiannya selama ini rasanya sulit. Apalagi setelah dirinya bersusah payah melakukan segala hal untuk dapat dianggap sebagai karyawan terbaik, yang berusaha menggapai visi misi perusahaan dengan cara apapun, rasanya tidak sebanding dengan apa yang dia dapat saat ini.
Gemuruh dihatinya kembali riuh menyalahkan semua orang yang terlibat dalam pemecatannya. Semakin Bella mencoba berusaha untuk melupakan, bayangan dalam pikirannya terus mencemooh, menyalahkan betapa bodoh dirinya karena lebih mementingkan kucing mati daripada karir yang selama ini dibangunnya. Tapi bayangan betapa kecewanya Ibu pada sikapnya selama ini, dan betapa pentingnya shelter bagi Ibu membuatnya berada dalam pilihan sulit.
Menerima shelter sebagai takdirnya, atau menjualnya karena merasa tak sanggup mempertahankannya.
Semakin lama, semua bayangan dalam pikirannya membuatnya mual. Hingga akhirnya, Bella bergegas menuju toilet dan memuntahkan semua isi perutnya.
Astrid menghapiri, berusaha membantu Bella yang kesulitan mengeluarkan seluruh isi perutnya.
“Bel, lo masih sakit? Kita ke dokter, ya!”
Bella menggeleng lemah, kemudian membersihkan mulutnya. Tak lama, dia keluar dari toilet, menghampiri Abas.
Setelah dia mengeluarkan seluruh beban di dalam tubuhnya, membuat Bella merasa yakin bahwa pilihannya kali ini tepat untuk hidupnya.
“Bas, apa yang bisa gue bantu buat shelter?”
Hening.
Ketiganya malah terkejut dengan ucapan Bella yang mendadak.
Bahkan setelah Bella memuntahkan seluruh isi perutnya, otaknya masih terus berpikir apa yang akan dia lakukan setelah dirinya memilih pilihan yang diambilnya.
“Bas!”
Abas tersadar, lalu menjelaskan beberapa hal yang memang belum sempat di urusnya. “Banyak, sih Mbak. Termasuk ngurusin gaji karyawan sama hutang piutang ke kliniknya Bang Indra. Saya agak kerepotan ngurusnya karena lagi nyusun skripsi juga.”