Bella kembali merapikan sisa-sisa barang yang sebagian masih bertumpuk di bagian pojok ruangan. Beberapa makanan kucing yang masih layak, sudah dipisahkannya untuk dibawa ke shelter. Bella juga sudah menelpon Yana untuk membantunya membawa 5 karung dry food yang sudah dipisahkan untuk shelter, serta beberapa yang sudah di packing perkilogram. Selain itu, Bella juga sudah membungkus wet food dengan expired yang pendek dan bungkusan yang sedikit cacat untuk dibawa serta ke shelter. Beruntung Yana dan seorang karyawan lainnya bernama Iman langsung datang setelah di hubungi. Keduanya tampak senang saat melihat makanan berlimpah untuk stok beberapa bulan ke depan.
“Mbak serius ini buat anak-anak di shelter?” tanya Yana. Dia sedikit ragu saat melihat isi petshop nyaris kosong dari sebelumnya.
“Iya, Mbak. Nggak rugi? Ini, kan buat usaha,” sahut Iman.
“Sengaja, Na. Biar gue mulai dari awal dengan branding yang baru,” jelas Bella dengan senyum mengembang.
“Semoga usahanya lancar terus dan rezeki mbaknya juga lancar pokoknya. Makasih, ya Mbak Bel.”
“Sama-sama.”
Keduanya lantas pergi kembali ke shelter.
Setelahnya, Bella juga mulai mencari distributor untuk produk-produk yang hendak dijualnya, lalu menghubungi satu persatu untuk bekerjasama dengan mereka untuk menyuplai barang-barang. Nyaris tiga jam keduanya berkutat dengan petshop dengan segala perlengkapannya. Kini toko yang nyaris tak dihuni selama berbulan-bulan, mulai menampakkan kehidupannya. Bella juga sudah konfirmasi terkait papan nama yang dipesannya akan selesai luas, dan hari itu Pawslova akan menujukkan wajah baru tokonya, juga pernak-pernik lainnya yang akan membuat tokonya semakin hidup.
“Selain jualan makanan dan perlengkapan hewan, rencana gue juga mau buka grooming, hotel dan café kucing. Gimana? Keren, kan ide gue?”
Astrid mengangguk bangga melihat sahabatnya kembali ceria. “Satu-satu dulu, ya Beb. Pelan-pelan.”
Bella merasakan detak jantungnya berdebar kencang. Selama hampir dua puluh empat tahun hidupnya selama ini, dia belum pernah merasa menggebu-gebu seperti saat ini. “Cuma ini kesempatan gue buat ngebuktiin ke mereka, kalau gue bisa bikin shelter bangkit tanpa bantuan mak lampir!”
Tak lama, ponselnya berdering. Masih dari orang yang sama. Entah panggilan ke berapa dan pesan kesekian yang lagi-lagi diabaikannya. Tapi kali ini, pesan terakhir yang dikirimkan lelaki itu, membuatnya penasaran.
Udah saya batalkan semuanya.
Satu kalimat yang membuat senyumnya semakin mengembang.
Namun, satu pesan lagi yang baru saja masuk dari orang yang sama.
Saya pamit. Rasanya keberadaan saya sudah nggak dibutuhkan lagi. Maaf atas kesalahan yang saya perbuat selama ini. Terima kasih.
“WA dari siapa?”
“Abas.”
“Dia bilang apa?”