"Aku pulang!" teriak Liana dari muka pintu rumah, sambil membuka sepatu dan menyimpannya di rak kecil, yang berada di samping pintu.
"Mama, mamaaaa ..." teriaknya lagi, memanggil sang mama yang tidak juga menampakkan wujudnya.
Hari ini tidak seperti biasa, kepulangan Liana hanya disambut rasa sepi tanpa kehadiran sosok Namla, yang selalu menyambutnya di depan pintu rumah.
Liana berlari ke atas, menuju kamar tidur orang tuanya, mencari keberadaan sang mama yang mungkin saja sedang bercengkrama bersama papanya. Kegiatan yang sering dilakukan oleh kedua orang tua Liana jika hanya berduaan di rumah.
Kamar tidur yang menjadi tujuan Liana ternyata kosong, bahkan ranjangnya masih terlihat rapi, seperti tidak tersentuh manusia. Ia beralih ke dapur, tempat mamanya selalu menunggu kepulangan Liana dengan makanan siap saji yang membosankan, ternyata sosok wanita yang ia cari tidak juga ditemukan.
Orang tua memang menyebalkan, melarang anak-anaknya pergi tanpa permisi, tetapi mereka sendiri pergi tanpa perduli anak-anaknya yang mencari. Para orang tua memang sangat egois. Liana merutuk dalam hati.
Suara melengking Liana yang memanggil mamanya, ber ubah menjadi tawa ketika berulang kali orang yang dicarinya tidak kunjung datang. Namun, rasa lapar yang mendera perut, membuat tawanya terhenti dan mengaduh perih sambil memegang perutnya.
Liana membuka tutup saji di atas meja, hanya ada nasi goreng sisa kemarin serta sepotong ayam yang sudah tidak layak makan. Ia beralih ke arah kulkas, melihat ada beberapa roti dan daging cincang yang siap diolah.
Ia melihat catatan yang tertempel di kulkas, Mama pulang saat jam makan siang, mungkin sedikit terlambat, tunggu saja dan jangan menyentuh apapun di dapur!
"Pulang saat jam makan siang apa? Ini sudah sore mama, dan bayanganmu pun, tidak ada di rumah," rungutnya kesal.
"Sorry mama, hari ini aku tidak mematuhi perintahmu, daging cincang ini terlihat sangat enak dan aku harus memakannya." Gadis itu menggumam sendiri, seolah sedang berbicara pada sang mama.
Menerima hukuman dengan perut kenyang karena melanggar perintah jauh lebih baik dari pada menunggu dengan perut lapar. Liana melepas kertas berisi pesan, meremasnya menjadi gumpalan kecil dan mencampakkannya ke tempat sampah.
***
Pandu dan Gama menyusuri lokasi tempat penemuan cincin yang dikatakan oleh pak Anjan. Insting polisi muda itu mulai bekerja dengan baik, dirinya kini bisa mengendus kemana arah, petunjuk yang diberikan oleh pelaku pembunuhan.
Dugaan Pandu tidak keliru, jejak sepatu dari hutan pinus dan cincin dari danau mengantarkannya pada sebuah mobil yang sengaja ditinggalkan oleh pengemudinya, tetapi sayang pelaku cukup pintar, tidak ada satu pun sidik jari yang tertinggal selain milik kedua korban.