Aku sedang menelungkup dan membenamkan wajah di tanganku yang kubuat sebagai penyangga. Aku tak percaya! Masa, sih, nilai cerpenku “hanya” 8, sedangkan Nadia bisa dapat 9?
Saat ini aku sedang sendirian di kelas. Ya, sendiri. Memang ini waktu istirahat. Tadi, Febby, Trisha, dan Melody mengajakku ke kantin. Namun, aku menolak! Bukannya aku lagi enggak punya uang. Aku sedang ingin sendiri, merenung. Meski nilaiku dengan Nadia hanya beda-beda tipis, aku takut Bu Lia mencopot gelar Miss Sastra yang kusandang di kelasku. Auwh! Tidak!
“Claudia? Kamu dari tadi duduk sendiri?” suara itu menyapaku.
Aku kenal betul suara itu. Melody! Aku mengangkat kepala. Benar saja. Di depanku ada Febby, Trisha, dan Melody. Ketiga sahabatku itu tersenyum kepadaku. Rupanya mereka sudah kembali dari kantin.
“Aku masih kepikiran yang tadi, saat Bu Lia mengumumkan nilai Nadia,” curhatku.
Trisha merangkul bahuku lembut. “Udahlah. Ini, kan, baru pertama, Cla. Masa, sih, Bu Lia akan melengserkan gelar Miss Sastra kamu,” hibur Trisha.
“Gampang ngomong gitu, Trisha. Kamu enggak tahu perasaanku,” omelku.
Trisha jadi merasa bersalah dengan perkataannya.
“Cla, gimana kalau nanti pulang sekolah ke Cherry Plaza dulu? Ada tempat nongkrong baru, lho. Namanya … Cooling Fresh Yoghurt. Aku pengin ke sana. Tapi, enggak seru kalau cuma sendiri. Kalian mau ikut, kan?” seru Febby mengubah suasana.
Aku tersenyum sekilas. “Oke. Sekalian mendinginkan hatiku yang panas membara.”
Febby, Melody, dan Trisha tersenyum. Mereka selalu bisa mengubah suasana menjadi ceria!
“Drama queen, ah,” komentar Melody.
“Cla, aku bawa ini,” ujar Trisha. Dia mengeluarkan empat batang cokelat putih dari dalam sakunya. Trisha sangat suka cokelat, terutama cokelat putih yang susunya terasa banget.
“Menurut Google, cokelat bisa merilekskan pikiran dan mengurangi stres,” cerita Trisha.
Trisha seorang maniak teknologi dan mengandalkan Google. Karena itulah, kami sering memanggilnya walking Google atau Google berjalan.
“Google lagi,” sindirku.
Yang disindir malah tertawa-tawa. Matanya menyipit akibat terlalu lebar tertawa.
Aku menggigit cokelat putih yang diberikan Trisha. Setiap hari Trisha selalu membawa cokelat dan itu bukan cokelat sembarangan, selalu bermerek Belgian Choc.
Tiba di Cherry Plaza siang itu, kami berempat segera menuju Cooling Fresh Yoghurt atau CFY Café. Febby yang mengetahui lokasi CFY Café memimpin dengan gaya berjalan lenggak-lenggok bak supermodel.
“Kita sampai,” ujar Febby saat tiba di CFY Café.
Kafe ini dikelola Om Gilang, yang tak lain adalah omnya Febby.
Aku memesan yoghurt rasa melon dengan topping choco chips, Febby memesan yoghurt blueberry dengan topping meises, Melody memesan yoghurt stroberi dengan topping jelly beraneka warna, dan Trisha memesan yoghurt leci dengan topping choco chips yang sangaaat banyak.
“Ya ampun, Trisha! Kamu ngambil topping cokelat sebanyak itu?” tanya Melody yang memusuhi cokelat karena takut gemuk. Sekarang pun badan Melody sudah mulai gemuk.
“Hehehe.” Trisha hanya tertawa.
Karena kehilangan mood berbicara, aku mengamati interior kafe ini. Tiba-tiba, pandangan mataku tertuju kepada sesosok laki-laki berseragam putih abu-abu, seorang anak SMA.
Bukan! Bukan karena dia ganteng, melainkan karena dia adalah … Kak Jio! Kak Jio adalah kakakku satu-satunya. Meskipun baik, Kak Jio sering jail. Gimana kalau aku ketahuan jalan-jalan di kafe dan dia melaporkannya kepada Mami? Bisa gawat!
Febby yang menyadari tingkahku pun bertanya, “Claudia kenapa, sih?” tegur Febby.
Aku kaget dan segera menoleh ke arah Febby, menyuruhnya diam. Terlambat! Kak Jio keburu melihatku. Oh, no!
“Claudia? Sedang apa di sini?” tanya Kak Jio.
Teman Kak Jio, Kak Ramon, segera menoleh kepadaku.
“Ng ... anu, Kak, anu ....” Aku kebingungan menjawab pertanyaan Kak Jio.
“Ini, Kak, Claudia lagi mau refreshing.” Melody menyerobot menjawab.