“Duh, hari ini panas, ya,” rajuk Sheila dalam perjalanan pulang.
“Iya.” Rendy mengangguk sambil mengibas- ngibaskan tangannya seperti kipas, “Seperti berjalan di atas tungku raksasa.”
“Berlebihan, deh,” tukas Cindy.
“Yuhu,” sahutku, “mau mampir ke rumahku? Hari ini Papa dan Mama pulang malam. Cuma ada aku, Carlos, dan Kak Sumi. Kita bisa sekalian melanjutkan rapat tadi.”
“Boleh, kebetulan aku enggak ada les.” Sheila setuju.
“Asyik, nanti kita main Pemecah Petunjuk, yuk,” usul Rendy.
“Ajak juga Carlos, pasti makin asyik. Dia lumayan berotak encer!” ujar Sandy.
“Setuju, semuanya?” tanya Vivian. “Setujuu!” teriak kami semua menggelegar. “Rumah Chloe sudah dekat. Lomba lari, yuk!” ajak Rendy.
“Oke. Peraturannya tak boleh menerobos ke jalan raya. Yang terakhir sampai rumahku, nyanyi lagu Potong Bebek Angsa. Sepakat?” aku menentukan.
“Deal! Kita mulai ya? 1 ... 2 ... 3!”
Kami berlari sekencang mungkin, hingga angin terasa berembus sangat kuat.
Seorang siswa SMA dan teman-temannya dari sekolah lain meledek kami, “Dik, Dik, dikejar setan, ya?” yang otomatis mengundang tawa nyaring teman-temannya.
Tiba-tiba, aku mendapat ide cemerlang. Karena sudah terbiasa dengan rute ini, aku tahu persis letak jalan tikus. Aku pasti menang apabila memilih jalan tikus karena lebih dekat. Aha, ide yang sangat bagus!
Dengan hati-hati, kulangkahkan kakiku yang beralaskan sepatu sekolah putih bercorak merah muda. Aku tak mau sepatu baru yang cantik itu sampai kotor terciprat lumpur di sekitarnya. Pagi hari, tempat ini adalah pasar. Tentu saja siangnya kotor dengan sampah yang berceceran dan lalat yang beterbangan. Belum lagi tong sampah yang jatuh dan selokan yang tersumbat.
Tiba-tiba ….
“T … tt ... tikus ...!! Tidak!!” pekikku.
Segerombolan tikus berukuran satu setengah jengkal orang dewasa berlari ke arahku. Aku sangat terkejut. “Gawat! Lari ke mana, yaa? Kalau ke sini, masuk parit. Kalau sana, ada tikus. Ahh!!” teriakku kesal. Aku menyandarkan badanku ke dinding dan berjinjit pelan-pelan.
Tiba-tiba, aku teringat maksudku melewati gang ini. Lomba Lari! Waktuku telah terbuang gara-gara tikus-tikus. Aku berlari secepat jaguar yang mengejar mangsanya, tak peduli sepatuku tepercik lumpur yang bau. Gawat.
Benar saja, saat aku tiba di depan gerbang rumah, teman-teman sudah menunggu.
“Tuan rumah, kok telat??” sahut Sandy. “Hossh. Gara-gara lewat jalan tikus, aku ketemu segerombolan tikus raksasa! Huweee!” “Hah? Chloe takut tikus? Hihihi,” ucap Sheila. “Seperti Doraemon, ya! Sekalian kita panggil Chloeraemon saja. Hahaha,” ledek Rendy.
Aku merengut.
“Heehe. Bercanda, Chloe. Oke, sesuai janji, kamu harus nyanyi,” kata Cindy mencairkan suasana.
“Baiklah, kita mulai, ya. Satu, dua, ti ... ga!” balasku. “Potong bebek angsaa ....”
Usai menyanyi, kami tertawa lepas. Tiba-tiba, pintu gerbang terbuka. “Lho, kok bisa?” Rendy heran.
Rupanya … itu adalah Kak Sumi, pembantu kami yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun, sejak dia masih berumur 16 tahun. Setia, kan? Dia sudah kami anggap kakak sendiri.