Salju menyelimuti penjuru kota di penghujung tahun. Orang-orang memakai mantel berbulu tebal untuk menghangatkan diri. Beberapa mungkin sedang bermalas-malasan meneguk Eggnog seraya menghangatkan diri di tungku perapian. Tak sedikit juga orang-orang yang masih berkeliaran di cuaca seperti ini.
Aku berdiri di ambang pintu. Menatap orang-orang berlalu-lalang tanpa menghiraukan kehadiranku. Kutelisik seluruh penjuru. Tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Sudah kurang lebih 2 jam aku berdiri. Seraya memeluk mantel hangat yang membungkus tubuhku, tidak luput penutup kepala alias hoodie yang mengalungi leherku.
Tirai bersalju menerpa kota New York. Kota tersibuk sekaligus kota dengan sejuta gemerlap. Di balik gedung-gedung pencakar langit itu tersamar jutaan orang berlomba untuk bertahan hidup. Tidak banyak yang berhasil, mungkin di antaranya adalah orang-orang biasa sepertiku.
Namaku Calixto Romulus. Panggil saja Calixto. Bukan orang yang begitu penting di kota ini. Aku hanyalah anak umur empat belas tahun biasa.
Aku baru saja akan menyandarkan bahuku pada salah satu pilar besar sebelum akhirnya aku tersentak, terasa seperti ada yang menepuk pundakku. Begitu aku berpaling tampak rupanya dengan tinggi semampai denganku. Rambut cokelat, mata biru, dan hidung mancung. Begitu ia menyunggingkan senyumnya terlihat jelas barisan gigi menyembul di balik bibirnya.
“Ini terakhir kali aku memercayaimu!” seruku lugas.
Pria itu membuntutiku seraya tertawa puas. Sungguh, aku benar-benar benci lelucon ini. Lama sudah aku menunggunya di stasiun. Ulang tahun Kim sudah usai 1 jam 26 menit yang lalu. Terakhir kuingat Kim berpesan, “Jangan sampai terlambat!”
Rumah Kim terletak tidak terlalu jauh dari stasiun kereta. Aku yakin, kalian pasti tidak akan langsung menemukan rumahnya pada saat kali pertama berkunjung. Itu karena rumah Kim tersamar di antara gedung-gedung pencakar langit di perempatan rumahnya.
Setelah neneknya meninggal, Kim tinggal sendirian di rumah besar itu. Terkadang Kim takut, tetapi Kim berusaha tegar. Kami yang merasa iba dengan Kim sering menginap di rumahnya sehari atau dua hari untuk menghiburnya.
Di ujung jalan itu, satu per satu tamu keluar. Ada yang memakai topi kerucut bertabur hiasan berupa glitter dan rumbai warna-warni. Ada pula yang membawa kotak hadiah dengan ragam yang bermacam-macam. Dan tentunya, ada yang pulang dengan noda kue cokelat melekat di mantel bulu mereka dan tentunya krim putih yang belepotan di bibir-bibir mereka.
Sekitar 20 menit, aku diam di tempat. Memperhatikan tamu yang wara-wiri keluar dari rumah Kim. Sesekali aku melihat lambaian Kim dari balik jendela transparan. Sesekali pula Kim terlihat membukakan pintu untuk para tamu.
Aku berdiri di balik semak-semak, menunggu sampai tak ada seorang pun yang keluar dari pintu itu. Dari tadi aku tidak melihat Molly, Sahabat Kim. Dia pasti datang, kan? Iya, iya, harus kuakui. Aku sendiri tidak datang. Namun, bukankah aku memiliki alasan kenapa aku tidak datang?
Tok Tok Tok! Kuketuk pintu dengan tanganku yang agak gementar. Aku takut Kim membukakan pintu, lalu mengomeli kami sampai puas dan mengusir kami. Kim memang agak agresif.
Aku menyenggol bahu Jacky-Jack yang sedari tadi tertawa meledekku. Kurasa anak yang bernama lengkap Jacky Brown ini sudah puas mengerjaiku. Rasanya tadi malam dia menelepon dan menyuruhku menunggunya di stasiun kereta. Siapa yang tidak merasa tertipu begitu melihat bibirnya yang belepotan krim cokelat?
Sekali lagi, aku mengetuk pintu. Badanku mungkin sudah terkena Hipotermia karena terlalu lama menggigil kedinginan. Pada musim dingin, Suhu di kota New York bisa dibawah nol derajat. Belum lagi salju yang membungkus jalan sepanjang kota. Beeeeeer!
Pintu terbuka, siapakah gerangan? Hantu? Bukan, bukan! Rambutnya panjang. Oh iya, matanya biru, hidung mancung! Itu pasti ... Kim!
“Cepat sekali datangnya!” sindir Kim dengan sinis seraya melipat lengannya.
“Ehm ... Kim, akan kujelaskan. Begini ....” Aku berupaya menjelaskan.
“Iya, iya. Aku tahu kok. Aku kan sudah bilang, jangan terlambat apa pun alasannya,” dengusnya kesal.
“Pokoknya selama tiga hari ke depan jangan berbicara kepadaku. Huh!” sambungnya, lalu bergegas berlari ke lantai dua.
Aku berlari melewati ruang tamu yang berantakan itu. Tak ayal tampak betapa meriahnya pesta ulang tahun Kim. Balon kempes yang disangkutkan di sela-sela lampu Chandeliers di tengah ruangan. Ada pula gelas anggur dan piring kue yang berserakan, beberapa di antaranya bahkan pecah. Tak luput, di sudut ruangan bergelimangan kado-kado yang disusun dari yang terbesar di bagian paling bawah hingga yang termungil di paling atas.
Aku menarik lengan Jacky-Jack dan mencubitnya. Bocah ini meringis kesakitan. Dengan cepat pula, kucoba meraih lengan Kim, tetapi Kim sudah terlampau jauh dan menghilang entah ke mana. Kira-kira Kim ke mana, ya? Aku berpikir keras. Mungkin di kamarnya, gumamku. Apakah tidak apa-apa jika aku masuk kamar Kim?
“Buka saja!” seru Jacky-Jack gregetan.
Akhirnya kuputuskan membuka pintu kamar Kim. Mungkin Kim belum sempat menguncinya. Begitu pintu terbuka, kudapati Molly dan Kim yang sedang bercakap-cakap. Suasana langsung senyap begitu aku dan Jacky-Jack masuk.
Kamar Kim cukup besar. Kamar ini hanya ditempatinya seorang, padahal menurutku kamar ini cukup untuk sepuluh orang. Ada kasur merah yang cukup besar. Lantainya dialasi karpet Persia dengan motif yang autentik.