Sebersit cahaya menyilaukan mata. Menandakan mentari sudah mulai terbit walau ragu-ragu bak puteri malu. Salju tidak turun hari ini, walaupun demikian kota masih berselimut salju yang mencair.
Memasuki bulan ketiga, merupakan peralihan dari musim dingin menuju musim semi. Musim saat bunga-bunga bermekaran, tumbuhan bersemi dan burung-burung berkicauan. Ah, aku tidak sabar menunggu datangnya musim semi!
Pukul 09.00 tepat! Jam pergantian pelajaran berbunyi. Secepat kilat aku menyeka keringat yang membanjiri tubuhku. Kemudian, keluar dari gedung auditorium yang kadang menjelma menjadi gymnasium saat pelajaran Olahraga.
Aku bergegas menuju gazebo kecil tepat di samping kantin. Ya, inilah “tempat biasa” itu. Memang tempat biasa, kan? Biasa di sini dimaksudkan sebagai tempat biasa kami berkumpul.
Gawat, dari jauh seorang gadis menatap tajam mataku, aku mempercepat langkahku.
“Lama banget, sih!” desah suara yang tidak lain berasal dari Molly. Gadis itu melipat tungkainya dan mengerutkan dahinya serta menyuramkan wajahnya.
“Yailah. Aku baru selesai ganti baju. Kamu sendiri, sudah dari tadi di sini?” tanyaku seraya mengernyitkan dahi. Seingatku jam pelajaran baru saja berakhir 2 menit yang lalu.
“Aku sedang tidak mood olahraga. Kubilang saja perutku sakit,” jawabnya santai seraya melipat lengannya.
“Yang benar?” ledek Jacky-Jack yang sudah tiba, lalu dia melepas sepatunya.
“Kamu terlambat seperti biasanya!” Molly menatap galak wajah Jacky-Jack. Tatapannya bagaikan seekor elang yang akan mencengkeram anak ayam yang malang.
“Baru lewat 5 menit. Lagi pula, bel pergantian jam baru berbunyi, kan?” bela Jacky-Jack. Aku mengangguk setuju. Sayangnya Molly tidak mau tahu.
Sekitar pukul 10.00. Bel istirahat berbunyi. Wajah kami makin suram. Sedari tadi kami menunggu kedatangan sang artis yang telah melibatkan kami dalam skenario film misterinya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Kim. Wajah kami makin kusut terlebih lagi wajah Molly yang semakin bad mood. Aduh, kamu ke mana sih, Kim?
Di seberang sana, seorang gadis dengan rambut hitam bergelombang melambai-lambaikan tangannya. Pasti itu Kim! Ah, biarkan sajalah. Aku, Jacky-Jack, dan Molly tak mengindahkannya. Kami pura-pura tak melihat.
“Ehm ... maaf aku terlambat,” ungkapnya malu-malu. Pipinya merona.
“Apa?! Terlambat. Lihat sekarang jam berapa!” bentak Molly. Wajahnya merah, sangat merah. Aku bersumpah jika kalian melihatnya, kalian tidak akan berani menatap matanya! Molly memang agak kasar apalagi pada seseorang yang tidak menuruti perintahnya
“Maaf, tadi aku mencatat pelajaran Ms. Cassiopeia. Kemudian, aku mengikuti pelajaran Matematika ekstra Ms. Lavaleia,” ungkap Kim dengan seribu alasan. Aku menghela napas. Sudah kuberi isyarat agar Kim menghentikan perkataannya agar tidak semakin meningkatkan amarah Molly.
“Truth or Dare!” seruku mendinginkan suasana. Seperti janji kami, yang terlambat akan mendapatkan sanksi, yaitu Truth or Dare.
“Truth, tetapi jangan tanya yang aneh-aneh!” pinta Kim memelas.
“Seberapa dekat dirimu dengan Calixto?” tanya Jacky-Jack asal-asalan dengan spontan. Aku tersentak. Namun, aku berpura-pura tidak tahu saja.
“Calixto siapa? Aku tidak tahu,” bantah Kim. Tak lama dia melipat kedua lengannya.
“Tidak jawab, tidak boleh duduk!” seru Molly.
“Oh, Calixto yang terlambat datang itu, ya?” sindirnya. Aku semakin merasa tidak enak. Jacky-Jack tertawa kecil. Betapa puasnya dia meledekku hari ini.