Bayang malam bergemi. Hembusan angin mengusir mentari dari singgasananya di atas gumpalan awan. Hitam semakin pekat membentang dari permadani bertahtakan bintang-bintang dengan ratunya, dewi rembulan. Arloji dinding tua berdentang sebanyak delapan kali.
Satu jam, kami menunggu kedatangannya. Kali ini tentu saja bukan Kim yang terlambat, tetapi Jacky-Jack yang memang terkenal “ngaret”. Seraya menghangatkan tubuh di tungku perapian, kami memandang titik-titik salju yang turun dari kaca jendela sambil mencari-cari jika ada bocah berkacamata cokelat yang berlari ke rumah Kim.
Beberapa orang mungkin kedinginan sambil memeluk mantel bulu hangat mereka, berkeliaran di malam yang membeku. Mungkin beberapa di antaranya orang sibuk yang bekerja hingga larut malam dengan butiran salju yang terseret oleh sepatu bot mereka.
Di luar sana memang indah, butiran salju bagaikan kapas halus yang dingin. Aku tak pernah merasa puas memandanginya seraya menerka-nerka dari mana asalnya. Apakah berasal dari potongan awan yang jatuh ke bumi?
Terkadang aku juga membayangkan butiran-butiran salju itu tak lama lagi akan berubah menjadi bunga-bunga bermekaran warna-warni. Kemudian, ranting kering berdaun putih itu akan mendapatkan hijaunya kembali. Ayolah musim semi, datanglah!
“Aku tiba!” seru Jacky-Jack yang tiba-tiba saja muncul. Dia menggantung mantel bulunya, lalu melepas sepatu bot beralaskan butiran-butiran salju yang meleleh. Kami bertiga menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahnya.
“Mau Eggnog?” tanya Kim, gadis itu berusaha bersabar.
“Tentu mau, yang hangat, ya!” pintanya tidak tahu diri. Lagi-lagi aku hanya bisa menggelengkan kepala.
Mata Kim melotot, berusaha untuk fokus pada cangkir berisikan Eggnog. Minuman berbahan dasar susu yang biasa disajikan di musim dingin menjelang natal.
Perlahan dengan tatapan dan gerakan tangannya, Kim mampu menggerakkan cangkir secara perlahan tanpa tumpah. Kemudian, menaruhnya tepat di jemari Jacky-Jack. Bocah itu sama sekali tak berkedip, dia berdecak kagum.
“Menakjubkan!” pujinya. Aku tidak terlalu heran karena sudah sering melihat Kim melakukan “atraksi”-nya itu. Jika kalian baru pertama melihatnya, aku berani bertaruh kalian sudah ambruk dan pingsan saking kagetnya.
Kim memiliki kemampuan telekinesis. Yaitu kemampuan untuk memindahkan barang melalui pikiran. Kalian mungkin belum percaya jika belum melihatnya. Di dunia ini hanya sedikit sekali yang dianugerahi kemampuan seperti telekinesis, Kim salah satunya.
Selain itu, Kim juga memiliki kemampuan lainnya seperti membaca pikiran orang lain. Dan banyak lainnya yang tidak ingin diceritakannya. Dia tidak ingin kami menganggapnya “spesial”. Padahal dia memang gadis istimewa, kan? Terkadang aku bergumam, Apakah dengan kemampuan ini, Kim pantas disebut “Manusia Super?”
“Baiklah, sudah lengkap semuanya!” seru Molly sembari menarik lenganku. Begitu pula dengan Kim dan Jacky-Jack.
Sebelum sampai di lantai tiga, kami harus melintasi tangga melingkar yang dialasi karpet merah dan kuning bermotif chevron, alias zigzag. Aku berjalan menumpu tungkaiku seraya berpegangan pada pinggiran tangga. Di belakangku, ada Molly dan Jacky-Jack yang napasnya sudah tersengal kelelahan.
Terdapat sekitar tiga puluh lima anak tangga melingkar yang harus kami naiki untuk mencapai lantai dua. Banyak juga. Aku heran, kenapa Kim sanggup bolak-balik kamar ke pintu depan hanya untuk menyambut tamu?
“Sampai juga!” ujarku seraya menyeka keringat yang membanjiri tubuhku.
Bagi orang asing, lantai tiga rumah Kim mungkin akan terlihat menyerupai hotel atau asrama karena didesain berbentuk lorong panjang dan kamar yang disusun berdampingan. Kamar Kim di bagian pertama, tepat disampingnya ada dua kamar tamu dan di ujung sana, ada sebuah pintu misterius.
Gagang pintu yang terbuat dari logam kuningan itu sudah dari awal menarik rasa penasaranku, dan kurasa Kim juga begitu.
“Bagaimana, Kim?” tanyaku khawatir. Kim mencoba memasangkan lubang di kotak dengan gagang pintu, dan ternyata ... COCOK!
“Astaga, ternyata memang benar!” seru Kim bahagia.
“Masuk, cepat-cepat!” bisikku kepada Molly dan Jacky-Jack yang sedari tadi mematung.
Pintu terbuka. Terdapat ruangan dengan dinding berlapis sarang laba-laba dan debu. Sekilas ruangan ini seperti sudah lama ditinggalkan. Catnya yang mulai mengelupas menandakan kegagahan ruangan yang mulai luntur. Nyaris tidak ada apa pun di ruangan ini.
Kami berjalan menyusuri karpet merah yang mulai berdebu. Bukan hanya berdebu, tetapi pinggirannya sudah robek. Entah digerogoti oleh tikus atau memang robek karena dimakan usia.
“Mmm ... terkunci,” laporku begitu mencoba membuka pintu yang terletak di penghujung ruangan. Aku menelisik seluruh ruangan sebelum akhirnya menemukan tombol merah yang mencurigakan.
“Coba tekan tombol itu!” perintah Kim. Aku menekan tombol merah itu dengan ragu-ragu. Aneh sekali, pintu terbuka begitu saja.