“Rithaaa!”
Ritha menoleh ke asal suara. Dia sangat familier dengan suara itu.
“Kenapa, Zah?”
Zahra ngos-ngosan mengatur napasnya sambil memegangi pundak Ritha. “Lihat … PR matematikamu, dong!”
Ritha sontak tertawa. “Kenapa sampai terengah-engah begitu? Santai sajalah!” Ritha membuka ritsleting tas berwarna hijau tosca polos miliknya, dan mengeluarkan sebuah buku tulis dengan sampul hijau emerald. Buku PR matematika kelas 8-1.
“Terima … kasih.” Cewek berambut layered sepundak itu pun berlalu menuju mejanya di pojok kelas.
Meja Ritha terletak paling depan, dekat meja guru. Selang beberapa meja, ada meja rival hidupnya, Diana. Aliandra Diana Yusiantra, si juara satu. Pemegang nilai tertinggi di bidang matematika dan IPA. Yang mengherankan, dia juga mempunyai otak seni. Di kepalanya banyak terdapat sketsa gambar. Diana sangat pintar melukis. Lukisannya sangat bagus, mengagumkan. Paling bagus di sekolah mereka. Namun, Diana punya kelemahan. Suaranya cempreng. Nilai menyanyinya tidak terlalu bagus, tidak seperti Ritha yang suaranya merdu.
Selain bernyanyi, Ritha juga pandai bermain biola. Malahan, sekarang dia sedang belajar piano klasik. Untuk urusan seni musik, Ritha selalu menjadi nomor satu. Namun, tetap saja Ritha iri kepada Diana. Setiap ada olimpiade matematika dan IPA, Diana selalu yang jadi nomor satu.
Tiba-tiba sebuah suara cempreng menggelegar di kelas 8-1.
Suara Aliandra Diana.
“Zahra, kamu, kok, mau nyontek sama orang nomor dua di kelas? Kenapa enggak langsung dengan orang nomor satu? Atau Dude, dia lebih pintar dari … hm malas sekali aku menyebut namanya,” cerocos Diana sambil melirik sinis ke arah Ritha.
Ritha sontak melotot garang ke arah Diana.
“Itu hak Zahra, apa masalahmu?” tanya Ritha kesal.
“Teng Teng! Ronde pertama Diana-Ritha!” Faiz mengangkat sebuah buku tulis ke atas kepalanya dan mengitari kelas.
Anak-anak tertawa.
Duh, memangnya ini pertandingan gulat?
“Enggak lucu!” kata Diana super sinis.
Bersamaan dengan itu, bel masuk pun berbunyi.
Zahra buru-buru menyelesaikan pekerjaan “terlarang”-nya dan menyerahkan buku tulis kepada Ritha sambil tersenyum dan berterima kasih. Ritha mengangguk senang.
Anak-anak segera mengeluarkan “rangkaian” buku matematika mereka. Ada buku latihan, buku catatan, buku PR, dan buku modul atau buku paket. Semuanya disampul hijau emerald, sesuai permintaan Bu Syafiq, guru matematika yang berpostur pendek dan memakai rounded glasses (Diana selalu menyindirnya begitu) atau kacamata bulat. Dia berkerudung dan selalu menggunakan sepatu hak lima sentimeter berwarna hitam.
Dibandingkan guru matematika kelas tujuh dan kelas sembilan, Bu Syafiq adalah guru yang paling ditakuti. Dia sangat tegas. Kalau sampul buku tidak sesuai, beliau tidak akan memasukkan nilai tugas. Dan jika buku tidak disampul, beliau akan merobeknya di depan kelas. Bu Syafiq tidak segan-segan mengeluarkan anak yang mengobrol kala pelajarannya berlangsung. Dia menginginkan semuanya fokus. Ritha kurang suka dengan Bu Syafiq. Dia lebih suka guru matematikanya saat kelas tujuh.
Kelas masih riuh rendah ketika bel berbunyi. Meskipun buku sudah ada di atas meja, mereka seperti belum puas bermain. Ada yang sedang mengobrol serius, berlari-larian, bahkan ada yang tertawa keras. Seperti biasa, kedatangan Bu Syafiq selalu mengagetkan. Suara high heels-nya terdengar di depan pintu. Detik itu juga, kelas sunyi senyap. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu menggerakkan engsel pintu dan masuk dengan ekspresi datar. Dia memutar bola matanya ke seluruh ruangan, memperhatikan penghuni kelas 8-1.
“Anak-anak, ada PR?” tanyanya dengan suara berat.
“Ada, Buu!” kor anak-anak.
“Baik, kumpulkan buku kalian di meja Ibu, lalu buka halaman 154. Kita akan membahas soal Bab 2,” jelas Bu Syafiq sambil mengambil salah satu spidol di tempat pensil.
Fela, wakil ketua kelas, dan teman sebangkunya, Tiara, si sekretaris, langsung sigap mengambil buku PR matematika di meja setiap anak. Ada yang belum selesai, mereka menyalin PR dengan buru-buru. Fela dan Tiara bukan tipe orang yang suka mencari kesalahan orang lain dan mengadukannya ke guru. Mereka tidak mengadukan yang menyalin karena cukup banyak anak yang melakukan pekerjaan “terlarang” itu.
Setelah terkumpul semua, Fela dan Tiara meletakkannya di meja guru.
Bu Syafiq membuka tutup spidol dan berjalan ke depan papan tulis. “Baik, siapa yang sudah pernah membaca atau mempelajarinya ….”