Sang surya mulai tampak di ufuk timur, membuat langit penuh semburat keemasan yang cerah. Burung-burung kecil berkicauan, menyemarakkan simfoni pagi. Titik-titik air hasil gutasi pun mulai menetes dari ujung daun. Perlahan, udara dingin mulai menghangat. Bunga-bunga yang bermekaran tampak cantik sempurna saat diterpa sinar mentari pagi.
Sayangnya, ada seorang gadis yang merasa dirinya tak sesempurna bunga itu. Dialah Reyna Wilisgiri. Reyna bertopang dagu di ambang jendela kamarnya, mengetuk-ngetukkan jemarinya pada bingkai jendela.
Kalau kau ingin seseorang yang sempurna, Rachel-lah jawabannya. Ya, saudara kembarku yang teramat menyebalkan, tapi dia murid teladan di sekolah, pikir Reyna sambil mendengus kesal.
Tentu saja aku tidak bisa disejajarkan dengan nona sempurna itu. Dia cantik, manis, dan pandai. Rachel selalu dibangga-banggakan hanya karena dia bisa mengerjakan soal Matematika dengan benar dan cepat.
Aku bisa melukis, tapi sayangnya menurut orangtuaku, lukisanku tidak ada apa-apanya dibandingkan karya ilmiah Rachel. Aku tak habis pikir. Begitu menarikkah hal-hal yang berbau ilmiah dan sains bagi orangtuaku? Apa aku harus bereinkarnasi jadi molekul untuk mendapat perhatian?Aku pun jadi malas menunjukkan lukisan dan hasil karyaku, bahkan cenderung menyembunyikannya.
Yah 1-0. Rachel satu dan aku nol. Selalu saja begitu. Rachel nomor satu dan aku selalu jadi yang terakhir.
“Hei!” seruan Rachel membuyarkan lamunan Reyna. “Ayo, berangkat sekolah!”
Reyna menoleh dengan sebal kemudian beranjak mengambil ranselnya, lalu mengikuti Rachel dari belakang. Reyna bisa melihat rambut hitam Rachel yang dikuncir kuda dan penampilannya yang rapi. Reyna melirik dirinya. Sejumput rambut kering kemerahan terurai dari balik topinya. Belum apa-apa, seragamnya sudah kusut, sepatunya lusuh, ranselnya yang mirip dengan kepunyaan para pendaki terselempang dengan asal di pundaknya. Penampilan Reyna mirip penjelajah alam liar.
Rachel pun sering bertanya-tanya, kembarannya ini hendak ke sekolah atau menjelajah hutan rimba?
Lagi-lagi Reyna merasa iri saat melihat Rachel dari belakang. Mengapa dia begitu sempurna? Punya banyak teman, selalu mendapat kepercayaan, dan semua orang menyukainya. Emm tidak semua, sih, Reyna membencinya.
Rachel tiba-tiba berhenti mendadak. Reyna menabrak punggungnya. Dia mendengus kesal. “Kau kenapa berhenti tiba-tiba, hah?” tanya Reyna sok garang.
“Kau enggak mau naik mobil?” Rachel mengangkat alis. “Hei, kau ini melamun saja!” Rachel mengernyitkan dahi, menggamit lengan Reyna, dan menariknya masuk ke mobil.
Keduanya duduk di bangku belakang. “Sudah siap, Pak!” ujar Rachel ramah kepada sopir.
Tak lama, mobil hitam itu melesat menuju sekolah di jantung kota.
Reyna berderap memasuki gedung putih tinggi bergaya Eropa itu sendirian, sembari mengunyah permen karet. Rachel sendiri lebih memilih berjalan bersama dayang-dayangnya, yang sedari tadi sudah menunggu di gerbang sekolah. Sumpah, Rachel itu populer sekali. Reyna bingung, mengapa ada orang yang mau menghabiskan waktunya untuk menunggu Rachel di gerbang, lalu mengikutinya?
Reyna tidak langsung pergi ke kelas, setiap hari dia selalu mampir ke lapangan basket dulu atau ke kolam renang. Reyna tidak berenang, dia melihat air kolam saja. Permukaan air kolam yang tenang membuat perasaannya lebih baik. Namun pagi ini, Reyna lebih memilih lapangan basket indoor, dia ingin mendribel bola basketnya.
Reyna membuka pintu masuk lapangan. Sepi. Kesempatan bagus buat Reyna. Gadis itu mengambil bola basket dari ranselnya, melepas topi, kemudian nalurinya sebagai kapten tim basket putri berjalan. Reyna mendribel bola kemudian melakukan lay-up dan mencoba slam-dunk, tapi masih belum bisa. Tak lama, peluh Reyna bercucuran, membasahi keningnya. Rambutnya pun jadi lepek.
“Rachel!!” Suara seseorang menggema di kuping Reyna.
Reyna menoleh dengan sangat kesal. Rachel?? Dia minus akut, buta, atau memang tak bisa membedakan, sih?
Reyna mendapati seorang cowok berperawakan tinggi, kulitnya seputih gading, dan mata cowok itu dibingkai dengan kacamata. Ya, Tuhan, Reyna lupa menutup pintunya!
“Aku bukan Rachel!” Reyna langsung membuang muka dan mulai mendribel bola, lalu melakukan shoot. Yup, nice shoot!
Cowok itu mendekat, menyipitkan mata cokelatnya. “Oh, maaf, kukira Rachel!”
“Kau memakai kacamata minus yang tidak pas,” ujar Reyna sinis.