Seminggu kemudian.
Rumah sepi. Selalu saja begitu. Kedua orangtua Reyna sibuk dengan pekerjaannya. Kadang-kadang, Reyna merasa sangat kesepian. Kehadiran Rachel dan bibi-bibi pembantu di rumah, sama sekali tidak memperbaiki keadaaan. Kalian tahu? Rachel selalu mengurung diri di perpustakaan bersama novel-novel klasik yang bahasanya rumit, yang tidak bisa dipahami oleh Reyna. Sedangkan, bibi-bibi pembantu tentu saja tidak senang jika diajak bermain basket.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Reyna adalah melukis. Entah mengapa, goresan-goresan warna dari cat minyak membuatnya tenang dan nyaman. Pernah suatu kali, Reyna sampai lupa waktu. Dia menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menyelesaikan sebuah lukisan. Yah, lukisan dirinya, Rachel, Ayah, dan Ibu berkumpul bersama.
Pintu kamar Reyna diketuk pelan. Reyna yang saat itu sedang melukis langsung berhenti. “Siapa?”
“Ini aku!!” Itu suara Rachel.
Buru-buru Reyna menyembunyikan kanvas dan peralatan lukisnya. Reyna tidak ingin Rachel mengetahui lukisannya. Reyna memutar gagang pintu kamarnya, membukanya sedikit, kemudian mengintip Rachel dari celah. “Mau apa kau?” tanya Reyna dingin.
“Aku ingin bertanya!” Rachel mendorong pintu kamar hingga terbuka lebih lebar. “Ayolah, bukakan pintu untuk saudaramu ini!” Rachel akhirnya merangsek masuk. “Kamarmu mirip tempat pembuangan akhir di alam liar!” keluh Rachel, lalu duduk di ranjang Reyna.
“Aku tidak menyuruhmu masuk, kan?” Reyna menutup pintu kemudian menyandarinya.
Kamar Reyna mirip tempat pembuangan sampah. Baju-baju kotor berserakan di lantai, sepatu-sepatu bot hiking Reyna berjajar di atas rak TV, bungkus-bungkus makanan kering berhamburan, remah-remah biskuit dan noda jus mengotori seprai. Rachel bertanya-tanya, apakah kembarannya ini tidak digigit semut atau serangga beracun lainnya sewaktu tidur? Apakah tidak ada lipan raksasa dari kolong ranjangnya?
Di sisi lain, Rachel jelas tahu ada kegiatan seni di dalam sini. Ada noda cat mengotori tembok, tapi Reyna tidak menunjukkan tanda-tandanya. Aura kegelapan meliputi kamar ini, suram.
“Aku ingin bertanya!” Rachel langsung menuju topik utama dan berusaha mengalihkan pandang dari sepatu-sepatu yang berjajar di atas rak TV.
“Apa?” Reyna terlihat malas mendengarkan.
“Kau besok pakai gaun warna apa? Biru muda apa kuning lemon?”
Reyna langsung menegakkan badan. Gaun? Pakaian gatal yang berumbai-rumbai itu? Yang mirip gorden jendela? Reyna bernafsu sekali untuk melontarkan pertanyaan tidak bermutu itu, tapi ada yang lebih penting daripada itu. “Memangnya kenapa dengan besok? Ada apa?”
“Jangan bilang kau lupa!!” Rachel tersentak saking kagetnya.
Reyna mengedikkan bahu tidak tahu.
Rachel menghela napas. “Kau memang lupa, ya? Sini kutunjukkan kepadamu!” Rachel menarik lengan Reyna, menyeret gadis itu menuju kalender yang terpasang melenceng di dinding.
“TANGGAL 16 MEI, REYNA!” Rachel sengaja memberikan penekanan pada setiap hurufnya.
“Ya?” Reyna benar-benar lupa, gadis itu hanya mengangkat sebelah alisnya.
“Ulang tahunku, Rey!!” Rachel hampir menjerit saking sebalnya.
“Oh, kalau begitu selamat ulang tahun!” Reyna langsung menjauhi kalender. Ulang tahun Rachel? Siapa peduli? Oh jelas, seisi rumah akan peduli.
Rachel menarik lengan Reyna. “ITU ARTINYA JUGA ULANG TAHUNMU, REYNA!! KITA, KAN SAUDARA KEMBAR!!” teriak Rachel.
Malam hari, rumah mulai ramai, para pendekor suruhan Ayah mulai berdatangan, menghias halaman belakang guna pesta ulang tahun Reyna dan Rachel besok malam. Para pria bertubuh kekar berlalu lalang, mengangkat perabot-perabot seperti kursi dan meja. Reyna hanya memperhatikan dari ruang keluarga yang dindingnya terbuat dari kaca sambil mendribel bola basket. Yah, bermain bola basket di dalam rumah itu menyenangkan.
“Halo, Ibu pulang!” Seorang wanita berambut ikal berderap masuk. Mata cokelatnya berbinar, tapi kelopaknya menggantung dan sedikit menghitam. Ibu pasti bekerja keras, tapi senyum tipisnya begitu menenteramkan hati. Reyna terhenyak memandangnya, dia rindu sekali dengan wanita ini.
“Hai, Rachel!” Ibu menyapa Rachel yang sedang membaca novel di depan TV. “Halo, Rey, kok bengong?”
Buru-buru Reyna mengalihkan pandangannya, kemudian mendribel bolanya lagi. Ibu hanya mengatakan itu, hanya itu? Apakah Ibu tidak peduli dengan hari-hariku di sekolah? Bahkan Ibu tak marah kalau aku bermain basket di dalam rumah. Rupanya Ibu terlalu sibuk bekerja sehingga tak memikirkanku. Lama-lama aku jadi sebal!
Ibu tengah merebahkan tubuhnya ke sofa, melepas lelah. Wanita itu memejamkan matanya sejenak. Lalu Rachel menghampirinya, duduk di sebelah Ibu dan bersandar di pundaknya.
“Bu, Rachel sebaiknya memakai gaun warna biru muda atau kuning lemon?” Nada bicara Rachel sedikit manja.
“Emm, Ibu rasa kuning lemon lebih cocok untukmu!”
Nada suara Ibu yang lembut sungguh membuat Reyna iri dengan Rachel. Andai ucapan itu ditujukan kepadanya, bukannya Rachel.
“Oke, baiklah kalau begitu yang biru muda akan kuberikan untuk Reyna!”
“Tapi, aku ingin pakai gaun warna kuning lemon juga!” celetuk Reyna tiba-tiba, dia sudah meletakkan bola basketnya.
“Aku sudah pilih yang kuning lemon!” ujar Rachel.
“Kau mengambil keputusan sepihak!” sentak Reyna.
“Tidak! Aku sudah bertanya kepadamu tadi siang!”
“Aku, kan, belum menjawab!” Reyna berkacak pinggang.