Peach For Lily

Auli Inara
Chapter #16

15. Trauma

Perlahan ku buka mataku. Langit-langit bercat minyak putih tampak lagi di mataku. Aroma lemon dari pengharum ruangan pada AC menyerebak di hidup, seseorang yang baru beberapa minggu ini ku kenal menatapku dengan antusias. Aku tersenyum, aku kembali mengingatnya.

Wanita yang sudah menghabiskan setengah hidupnya menjalani profesi ini tampak selalu sama, ia selalu antusias untuk mendengar kisah-kisah dari orang-orang yang datang padanya. ‘Seperti mendengarkan sebuah kisah misteri,’ katanya. Selalu ada teka-teki yang membuatnya menebak-nebak setiap ingatan itu terputus pada suatu hal yang membingungkan. Atau dia akan menerka ada sebuah ingatan tentang hal besar yang terselip hingga tak tampak diantara ingatan-ingatan yang tak terlalu penting. Yah tidak penting untuk dijadikan petunjuk agar aku tahu alasan mengapa aku takut pada Bunga.

Mrs. Renata tampak tak sabar bertanya. Aku pun tak masalah bila harus bercerita padanya, dia akan tahu bila ada yang janggal dari ingatanku. Beberapa potong ingatanku kembali sejak datang padanya, sejauh ini aku hanya ingat masa kecilku. Yah, sejarah cinta monyet itu. Awalnya ku pikir dia akan keberatan mendengar kisah ini, namun dia menikmatinya bahkan dia justru bercerita tentang sejarah cinta monyetnya empat puluh tahun yang lalu.

“Terus??” tanyanya.

“Gak ingat, cuma ingat sampai situ,” lirihku.

“Besok datang lagi!”

Aku mengangkat alis, “besok juga?”

“Gak, gak bisa! Kamu istirahat saja dulu, jangan coba mengingat apapun! Nanti kamu strees.”

“Kok?”

“Kamu masih tujuh belas tahun, cinta pertama yang gagal adalah masalah yang besar buat kamu.”

Aku tertawa.

“Tapi saya penasaran setelah itu apa yang terjadi antara kamu dan Rafael?”

“Haha... buat apa penasaran? Palingan abis itu dia diam-diam ngambil buku matematikaku, nyoret-nyoret sembarangan, ngambar gak jelas, terus ngata-ngatain aku jelek di situ. Pas masuk pelajaran matematika, dia masih nyembunyiin buku paket matematika. Aku diusir dari kelas karena gak ada buku, dan dia juga ikut diusir karena emang gak bawa buku. Terus kita nongkrong deh di kantin, dia tahu aku benci matematika.”

“Itu kamu ingat!”

“Hahaha... sengaja dong!”

“Sudah berani ya kamu dengan saya.” Mrs. Renata menunjuk-nunjukku.

Aku kembali balas tertawa.

“Besok kamu sudah mulai masuk sekolah kan?”

“Iya, saya sedikit khawatir sebenarnya.”

“Iya, kamu akan kesulitan beraktifitas di luar. Anggap saja, dengan beraktiitas di luar dijadikan sebagai terapi alami, untuk menurunkan tingkat phobiamu itu. Setidaknya gejalanya berkurang dan kamu tidak sepanik sebelumnya saat dihadapkan dengan bunga. Saya harap kamu tidak menggunakan obat penenang terlalu banyak atau terlalu sering, cepat atau lambat itu akan mempengaruhi kesehatanmu juga.”

“Baik Mrs.”

Hening sejenak tidak ada yang bersua.

“Any question?”

“Em, ada! Tapi ini pertanyaan ini lebih saya tujukan ke diri saya sendiri.”

“Apa itu?”

“Apa yang sebenarnya terjadi kepada saya? Apa alasan dan penyebab tubuh saya bereaksi seperti itu karena bunga, haaa... rasanya sedikit aneh, karena dari apa yang sejauh ini saya ingat dan apa yang orang-orang terdekat saya katakan, saya dulu menyukai bunga—sangat menyukainya. Dan pastinya kecelakaan itu adalah trauma yang sangat besar bagi saya, hingga saya sulit mengingatnya.”

***

“Sepatu? Oke! Seragam? Okee... Dasi? Okee! Rambut pirang curly? Oke juga... Wajah manis make up natural? Oke! Oke siap berangkat!” Aku beranjak dari cermin.

“Tas kamu Chel!” teriak kak Ayu di kamar yang sama denganku.

“Oh iya lupa.” Aku berbalik lagi mengambil tas yang sudah berdebu. “Jangan lupa masukin baju dan perlengkapan renang... oke siap!” Aku beranjak lagi.

“Buku udah dimasukin belum? Mau belajar apa kalau gak bawa buku? Masukin alat tulis juga!”

“Iya iya ini mau dimasukin kok!” Aku kembali lagi menyusuri meja belajar dan rak-rak buku.

“Nanti di kelas belajar yang benar! Jangan tidur di kelas! Kamu cuti udah berbulan-bulan, belajar yang rajin kejar ketertinggalan belajar kamu itu, kamu mau ngulang kelas dua tahun?”

Lihat selengkapnya