Aku lupa yang mana tempat dudukku, Finka mengingatkan bahwa aku duduk di bangku ketiga dari depan pada baris kedua dari pintu, Finka pun duduk di belakangku. Aku pun tak luput dari perhatian guru yang masuk, dia mengucapkan selamat atas kesembuhanku. Aku tersenyum canggung saat diminta maju dan kembali memperkenalkan diri seperti anak baru, aku menolak. Lagi pula siapa yang tidak kenal aku di sini? Okee, aku mulai sombong.
Aku membongkar isi tasku, mengambil buku dan alat tulis. Aku berusaha mencari buku paket untuk mata pelajaran hari ini, tapi aku tak punya satu pun buku. Buku-buku catatanku yang lain pun semaunya kosong bahkan masih rapi solah belum tarsentuh. Aku jadi bertanya-tanya apa aku pernah belajar sebelumnya?
Mata Finka membulat melihat aku yang menyiapkan alat tulis. “Serius demi apa Ly? Kamu belajar?”
Aku menoleh ke belakang menatap Finka heran. “Iya? Emang kenapa?”
“Kamu benar-benar amnesia ya. Kamu udah berhenti belajar sejak setahun yang lalu!” bisik Finka.
“Maksud kamu?” Aku menatap Finka dengan ekspresi yang semakin bingung. Aku tak mengerti sama sekali.
Finka mendekatkan wajahnya, agar tak perlu terlalu berisik menjelaskan. “Kamu udah gak pernah belajar lagi sejak setahun lalu, kamu bahkan jarang masuk kelas. Kamu selalu ngeabisin waktu di ruang musik dan sering cuti. Sampai-sampai aku harus tiap istirahat bawa jajan ke ruang musik. Kalau pun di kelas kerjaan kamu ya cuma tidur. Pr juga selalu aku yang bikinin! Kamu beruntung punya teman baik dan pintar kayak aku!” Hidung Finka memanjang. Dasar sombong.
“Tapi ngapain aku di ruang musik?”
“Haahhh, aku juga heran! Kamu kalau udah menentukan sesuatu akan fokus banget sampai lupa yang lain, gak tahu dicapek juga. Coba aja kamu itu sukannya belajar, bisa-bisa kamu rangking dua di bawah aku!” Entah sejak kapan Finka jadi orang yang sombong begini, atau hanya karena aku yang lupa dia orang yang seperti itu.
“Iya Iya! Tapi aku masih gak ngerti!”
“Hadeeh... pokoknya gitu deh, udah segitu aja dulu. Nanti kalalu kamu shok karena kebanyakan ngingat kan gak baik juga. Pokoknya sekarang kamu belajar aja, nanti kerjain pr sendiri ya!”
“Hah?”
Semua informasi yang kuterima semakin membuatku bingung, memilah-milih ingatan yang muncul secara acak. Aku pusing karena tidak dapat memastikan waktu dari masing-masing ingatan, meski ingatan itu tampak tak terlalu penting. Seperti ingatan tentang aku dan Kak Ayu yang terkadang nempel seperti parangko dan amplop namun terkadang juga layaknya Tom and Jerry. Ingatan tentang Mama yang melaporkan orang yang tak sengaja menabrak kucingnya hingga meninggal ke polisi, tantang Finka yang begitu bucinnya dengan kakak kelas sampai menghadiahi iphone saat ultah doinya itu. Ingatan tentang betapa nakalnya Rafael saat SD dulu, serta ingatan lainnya di SMP besama Aci dan Dea. Namun aku tak dapat mengingat apa pun lagi soal Daffa.
Kelas berakhir. Aku tidak benar-benar belajar, tanpa sadar aku terus berusaha mengingat, karena rasanya terlalu banyak hal yang aku lupakan. Memang benar aku kehilangan seluruh ingatanku saat terbangun setelah koma itu. Kepalaku sedikit pusing tapi aku baik-baik saja, aku mengemasi alat tulisku. Guru pun sudah keluar, aku memangku ransel kecilku berwarna hitam dan modis, tampak memang dari penampilanku bahwa aku ke sekolah bukan untuk belajar. Tak seperti teman-teman yang lain, seperti Finka yang ranselnya besar sekali, bahkan lebih besar dari badannya.
Dan juga aku sadar satu hal, proporsi tubuhku saat ini berbanding tarbalik dengan ingatan masa SMPku, sepertinya aku sudah puber. Badanku cukup tinggi dan langsing namun sedikit berisi, rambutku dipotong bob kemarin di salon langganan Mama, karena sudah terlalu panjang dan tak pernah dipotong selama aku sakit. Aku pun punya tahi lalat kecil di hidung bagian atas sebelah kanan, sepertinya baru muncul saat-saat terakhir. Karena dari foto-foto yang kulihat waktu kecil aku tidak memiliki tahi lalat di wajahku.
Aku henadak beranjak keluar kelas.
“Mau kemana?” Finka menahan tasku, tampak bertanya-tanya alasan aku meninggalkan kelas padahal setelah ini masih ada kelas lain.
“Aku udah ingat! Kamu sendiri yang bilang kan aku jarang di kelas, dan gak pernah belajar. Aku udah ingat kemana biasanya aku pergi!” Aku tersenyum meyakinkan.
Tapi dari raut wajah Finka dita tak yakin. “Yakin kamu ingat tempatnya?”